Infiltrasi Akidah Paganisme - MyESI App

Infiltrasi Akidah Paganisme

Infiltrasi Akidah Paganisme

Oleh: Fakhry Emil Habib, Lc., Dipl.
(Researcher Ushul Fikih Fakultas Dirasat Ulya Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir)

Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Allah ada sebelum segala sesuatu. Allah tidak butuh segala sesuatu. Allah berbeda dengan segala sesuatu. Dan selalu tetap begitu.

Maka adalah kezaliman, saat menetapkan batasan ruang dan waktu bagi Allah, karena keduanya adalah makhluk. Adalah kesesatan saat menetapkan organ bagi Allah, karena Allah adalah SATU yang mutlak. Hanya Dia yang tahu hakikat zat-Nya. Kita jangan menerka-nerka, apalagi menetapkan sesuatu yang tidak patut pada zat Sang Pencipta.

Q : “Tapi bukankah ayat-ayat Al-Qur’an telah jelaskan bahwa Allah memang berada di langit, seperti QS. Al-Baqarah : 29?”

A : “Betul. Namun jangan menjadi pribadi yang MENERIMA SATU AYAT DAN MENOLAK AYAT-AYAT YANG LAIN! Karena ada juga ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa:

  • Allah itu dekat (QS. Al-Baqarah : 186)
  • Allah lebih dekat dari urat leher (QS. Qaf : 16)
  • Allah berada dimanapun hambanya berada (QS. Al-Hadid : 4)
  • Allah juga berada di bumi, bukan hanya di langit (QS. Al-An’am : 3)

Bagaimana mungkin saudara hanya menerima satu ayat dan menutup mata dari ayat-ayat lainnya?

Maka bagi kami Ahlus Sunnah wal Jamaah, kami mengimani seluruh teks ayat mutasyabihat tanpa memaknainya, karena hanya Allah yang tahu takwilnya. Atau jika memang perlu, kami akan serahkan kepada ulama tafsir (arrasikhuna fil ilmi) yang akan menjelaskan ayat tersebut sesuai dengan kesucian Allah dengan kaidah-kaidah ilmu Quran. Metode ini dijamin benar, berdasarkan QS. 3 : 7.

Intinya, yang benar-benar kami pegang maknanya adalah ayat-ayat yang muhkam, bahwa Allah tidak terikat dengan alam dan hukum alam (QS. Ali Imran : 97) dan Allah tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya (QS. Asy-Syura : 11).


Q : “Pemikiran kalian sudah diracuni oleh ilmu kalam! Coba tanya nurani kalian! Pasti kalian akan mengakui bahwa Allah memang berada di langit!”

A : “Sejak kapan naluri bisa dijadikan hujjah? Padahal saudara keukeuh menyatakan bahwa masalah akidah harus berdasarkan dalil yang mutawatir. Jadi pegangan saudara sebenarnya apa? Nalurikah, atau ayat?

Kalau berdasarkan ayat, jelas saudara telah kalah dalil berdasarkan apa yang tadi kami sebutkan. Kalau berdasarkan naluri pun, naluri saudaralah yang perlu diperbaiki karena sudah teracuni dengan tontonan dewa-dewa pagan ala hercules, sun go kong dan utaran yang memang berada di langit (kayangan).

Sedangkan naluri lurus saya merasakan bahwa Allah begitu dekat dan Allah selalu bersama hambanya. Namun hakikat logis, Allah tidak terikat tempat, dan memang tidak akan ada tempat yang mampu mengkonten Allah. Subhanallah!

Maka pahamilah ayat-ayat mutasyabihat dengan metode yang benar, sehingga saudara tidak terjebak pada akidah tajsim, tasybih ataupun ta’thil!”


Q : Tapi bukankah Nabi Muhammad saw. berjumpa Allah di langit saat peristiwa Isra dan Mi’raj?

A : Nabi Muhammad naik ke langit bukan untuk menjumpai Allah, namun untuk melihat ayat-ayat Allah (QS. al-Isra : 1).

Jika memakai logika saudara, maka berarti Allah berada di sebuah lembah yang diberkahi sebagaimana kisah wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Musa As (QS. Al-Qashash : 31-31), dan Nabi Ibrahim juga berkomunikasi dengan Allah tanpa naik ke langit (QS. Ash-Shaffat : 99). Lalu mana yang benar? Di bumi atau langit?

Makanya, jangan mengambil satu ayat dan menolak ayat lain. Kaji secara komprehensif, baru tarik kesimpulan! Yang benar adalah apa yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa Allah tidak bertempat. Yang bertempat adalah makhluk.

Nabi Muhammad saw. melihat Allah ketika Nabi di langit. Yang berada di langit adalah Nabi, sedangkan Allah tidak bertempat.

Nabi Musa a.s. mendapat panggilan dari Allah ketika Nabi berada di lembah. Dan menerima wahyu ketika beliau berada di bukit. Yang berada di lembah dan bukit adalah Nabi Musa, sedangkan Allah tidak bertempat.


Q : Tapi ustaz kami katakan bahwa yang mengingkari bahwa Allah berada di langit adalah kafir. Lalu bagaimana kami harus bersikap?

A : Makanya jangan TAKLID BUTA! Sudah jelas penjelasan guru Anda kacau dari segi dalil baik Al-Qur’an maupun hadis. Juga kacau dari segi logika. Bahkan serupa dengan akidah kaum pagan yang menganggap dewa-dewa mereka memiliki organ dan bertempat. Tapi masih juga diikuti.

Ingat, Anda sendiri yang tegaskan jangan taklid dalam urusan akidah! Lalu mengapa malah Anda yang bertaklid pada penganut akidah serupa pagan?


Ironis, mereka kafirkan orang lain, justru mereka sendiri yang menggunakan metode orang-orang kafir.

Betapa adil itu sulit, karena memang adil dekat kepada takwa.

Bagaimana mungkin seseorang mendapat derajat takwa, jika di hatinya ada kebencian kepada orang beriman, apalagi para ulama. Benci saja bahaya, apalagi sampai mengkafirkan.

~Fakhry Emil Habib~

Bagi sahabat Ahlus Sunnah Wal Jamaah, ini sebenarnya adalah pembahasan eksklusif, bukan makanan awam. Namun apakah kita akan diam saja saat masalah seperti ini dijejalkan pada awam, sembari tuduhan-tuduhan kafir dan syubhat menyambar-menyambar para ulama kita?

Yang tahu, harus meluruskan! Fardu kifayah!

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik..

Catatan: Saya tidak mengkafirkan mujassimah, sebab akidah tajsim ini ada syubhat ayat. Paling banter ya sesat, seperti sesatnya mu’tazilah, syiah dan jabariyyah. La nukaffiru ahlal qiblah. Mereka semua memang punya pijakan dalil, tapi sayang, dalil-dalil tersebut tidak dipahami secara komprehensif dan proporsional.

Baca juga: Apa Arti dan Hakikat Kalimat Lâ Ilâha Illallâh?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mungkin kamu juga suka
930 x 180 PASANG IKLAN DI ESI

Semua Fitur MyESI App

Al-Quran

Hadits

Talaqqi

Tulis

Kuliah

Maps

Market

Web Masisir

Kitab

Wirid & Doa

E-Learning

Maulid

Intif Mesir

DKKM

Qiblat

Copyright © 2024 MyESI App
All rights reserved.