Disconnect to Reconnect - MyESI App

Disconnect to Reconnect

Kalau pembaca sudah selesai memuat laman secara penuh. Penulis meminta pembaca yang budiman untuk mematikan data selulernya sejenak.

Rata-rata kecepatan 5G adalah 10Gbps yang artinya kita bisa men-download 5 film resolusi HD hanya dalam 1 detik. Zaman penulis SMP dulu, kami sudah sangat senang dengan koneksi H+ yang menurut kami sudah sangat cepat pada masa itu. Bahkan, koneksi Edge pun masih bisa kami gunakan untuk berseluncur di internet yang luas ini. Masa SMP penulis adalah peralihan dari masa 3G ke 4G sampai sekarang 4G LTE. Pada kecepatan ini–untuk perbandingan–kami bisa mendownload 1 film resolusi HD dalam waktu 10-20 menitan. Perkembangan-perkembangan seperti ini yang terjadi hanya dalam rentang waktu satu dekade menunjukkan betapa cepatnya dunia ini berubah.

Memiliki koneksi internet yang cepat adalah sesuatu yang menyenangkan. Kita bisa berselancar ke manapun untuk mendapat informasi apapun secepat kedipan mata. Rasanya bumi yang membentang sejauh 510,1km² sudah tidak ada jaraknya lagi. Kita bisa melihat negeri seberang bahkan tanpa harus melangkahkan kaki keluar pintu rumah. Tapi, suka tidak suka, itu akan mengubah banyak dari cara kita menjalani hidup sekarang seperti yang sudah terjadi di dekade 2010-2020-an. Pada dekade itu, kita juga telah banyak melihat perubahan yang mungkin sebelumnya kita tidak pernah sangka-sangka.

Dulu, kalau kita mau pergi ke luar kota menggunakan kereta, kita harus pergi ke stasiun untuk membeli tiketnya jauh-jauh hari. Kita juga harus mencari informasi jam berangkat, jenis kereta dan tujuan tentunya. Sekarang, kita bisa melakukannya tanpa harus capek-capek ke stasiun. Sama seperti itu adalah go-food. Dulu kalau mau membeli makanan, ya mau tidak mau kita harus pergi ke warung, tidak seperti sekarang yang hanya dengan menggerakkan jari saja sudah bisa mendatangkan makanan ke rumah, seperti sihir, ya. Dulu, kalau butuh barang, harus susah payah mencarinya ke toko-toko. Sekarang tokonya sudah masuk ke dalam kubus kecil bernama smartphone. Kok bisa ya, toko sebesar itu masuk ke kubus sekecil itu.

Suka tidak suka, fenomena seperti itu membentuk diri kita menjadi pribadi yang suka instan. Karena memang kita sudah terbiasa mendapat segala sesuatu dengan mudah, akhirnya otak dan mental kita terprogram untuk membuat statement bahwa zaman sekarang segalanya harus mudah, cepat dan efisien. Kecepatan, kecepatan, kecepatan. Rasanya, hidup kita di zaman sekarang ini seperti diburu oleh sesuatu yang cepat. Diburu lulus cepat, jadi sarjana cepat, mendapat kerja cepat, nikah cepat, punya anak cepat, punya rumah cepat, dan seterusnya, dan seterusnya. Bahkan, untuk men-download film pun kita harus cepat? Begitulah perkembangan dunia mengubah pola hidup dari umat manusia.

Pembaca yang budiman, sebenarnya kita semua itu tidak diburu oleh apa pun. Tapi, karena zaman membentuk kita sebagai pribadi yang instan dan serba mudah, maka segala sesuatu seakan mengejar kita, khususnya sesuatu yang membutuhkan proses. Pendidikan dari dulu sampai sekarang ya sama saja, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun. Tidak ada yang berbeda. Mencari kerja juga dari dulu sama saja, sama-sama susah, sama-sama butuh effort dan kesabaran. Jadi, yang mengejar kita adalah bayang-bayang efek negatif dari perkembangan dunia yang sangat cepat ini, bukan dunia itu sendiri.

Hal-hal di atas diperparah dengan kemunculan sosial media di awal 2010-an. Dengan adanya media sosial, kita semakin berpotensi untuk merasa dikejar sesuatu. Di media sosial, kita melihat kehidupan orang lain, pencapaian orang lain, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan orang lain. Melihat orang seperti itu, rasanya kita harus seperti itu, akhirnya kita merasa dikejar hal-hal sana-sini yang mungkin tidak terlalu penting bagi kelanjutan hidup kita.

Walaupun begitu, kita juga tidak bisa menganggap segala kecepatan itu adalah hal semu dan penyakit mental belaka. Dunia memang benar berubah menjadi lebih cepat dan efisien. Semua perkembangan yang terjadi pada dekade terakhir menunjukkan bagaimana dunia telah berubah menjadi lebih efisien, seperti yang bisa kita lihat pada hal-hal seperti Online Shop, Online Ticketing, dan produk-produk e-commerce lainnya yang telah disebutkan sebelumnya.

Dalam teori evolusi, kijang yang tidak punah spesiesnya sampai saat ini adalah kijang tercepat yang bisa lari menghindari predator seperti harimau, singa, dan cheetah. Agaknya, 1 millennium kemudian, manusia yang bertahan di muka bumi adalah mereka yang paling efisien, bisa melakukan segala sesuatu dengan waktu tercepat, dan dia yang paling bisa beradaptasi dengan kecepatan. Wah jadi inget hadits:

لا تقومُ الساعةُ حتى يتقاربَ الزمانُ وتكون السنةُ كالشهرِ، والشهرُ كالجمعةِ، وتكون الجمعةُ كاليوم، ويكونُ اليومُ كالساعةِ، وتكونُ الساعةُ كالضِّرمةِ بالنارِ

الراوي: أنس بن مالك • الترمذي، سنن الترمذي (٢٣٣٢) • غريب من هذا الوجه

Tidak akan terjadi kiamat sampai waktu terasa berjalan dengan cepat. Satu tahun seperti satu bulan, satu bulan seperti satu minggu, satu minggu seperti satu hari, satu hari seperti satu jam dan satu jam seperti kedipan mata..

Penulis sendiri punya kejadian menarik sesampainya di Mesir untuk melangsungkan studi S-1. Di Mesir semua administrasi masih manual tanpa menggunakan internet. Semua masih menggunakan berkas tulis dan kertas. Awalnya penulis sangat kesal dengan keadaan ini sampai bergumam “Kan udah canggih, ada internet, kenapa sih tidak menggunakan internet aja biar cepat”. Tapi, lama kelamaan semakin tersadar “Memang apa pentingnya cepat sih? Memang kalau sudah selesai mau ngapain? Kalau memang keadaannya seperti ini, yasudah dicari hikmahnya” dan hikmah yang penulis dapat adalah bagaimana melambatkan diri di tengah lonjakan kecepatan yang ada di dunia ini. Selain itu, penulis juga bisa menghargai proses lewat pengalaman administrasi yang manual ini. Seakan segala sesuatu itu adalah hal yang bermakna dan harus dinikmati. Dari mulai mendapat tanda tangan petugas kantoran, pejabat universitas, stempel universitas, dan sebagainya. Semua itu membuat penulis selalu mengucap alhamdulillah di setiap fasenya. Tidak sama seperti sekarang yang belum menikmati sudah selesai saja kegiatannya.

Selain menjadikan kita pribadi yang suka instan, serba cepat dan suka kemudahan, internet juga sudah membagi dunia kita menjadi dua, dunia nyata dan maya. Dunia nyata adalah dunia yang berisi pohon-pohonan, angin, udara segar, mobil lalu lalang, dan hal-hal lain yang semuanya bisa kita indra secara langsung. Sebaliknya, dunia maya hanya berisi kata-kata, gambar, video dan hal-hal yang tidak bisa kita indra langsung. Dengan term ini, video call adalah dunia nyata, karena suara yang kita dengar adalah suara langsung dari pembicara sedangkan surat-menyurat zaman dulu adalah termasuk dunia maya karena tidak ada interaksi langsung di dalamnya. Pembelahan dua dunia yang semakin nyata ini adalah dampak dari internet yang merajalela.

Sayang seribu sayang, dunia nyata yang harusnya kita hidup di dalamnya malah seperti dunia kedua, dunia sampingan. 5,7 jam adalah rata-rata screen time orang Indonesia. Artinya dalam sehari 24 jam, 5,7 jamnya kita gunakan di dunia maya. Lho, 5,7 jam itu waktu yang sebentar, kita masih punya 18 jam sisanya untuk hidup di dunia nyata. Ya, kita ambil 8 jam untuk tidur, 10 jam untuk bekerja. Lalu, sisa berapakah waktu kita di dunia nyata? Ya, betul sekali, 0 jam. Kapan waktu kita untuk bercengkerama dengan keluarga, mengobrol santai dengan teman, menikmati alam, menikmati ibadah, terkoneksi dengan Allah? Internet yang harusnya memberi koneksi malah memutuskan koneksi kita dengan orang-orang sekitar dan dunia nyata.

Internet memang inovasi yang luar biasa dan harus kita apresiasi. Tapi, sebagai makhluk yang cerdas, kita harus beradaptasi sebaik mungkin agar tidak terbawa arus buruk yang dibawa internet. Dengan kecepatan dunia yang seperti ini, kita harus sesekali melambat untuk menyeimbangkan hidup kita. Untungnya, Allah telah mewajibkan kita 5 kali sehari untuk memperlambat kecepatan dan mengingat-Nya. Menurut penulis, sholat adalah meditasi dan cara terbaik untuk menjaga keseimbangan di zaman sekarang ini. Sebagaimana kata salah seorang penulis “Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Kamu harus menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh”.

Disconnect to reconnect. Disconnect dari internet untuk reconnect ke dunia nyata. Disconnect saat kumpul bersama keluarga untuk reconnect dengan mereka. Disconnect saat nongkrong bareng teman untuk reconnect koneksi sosial bersama mereka. Disconnect saat azan waktu sholat untuk reconnect dengan Sang Pencipta. Disconnect saat membaca untuk reconnect dengan buku bacaan kita sebagaimana yang penulis minta di awal-awal tadi.

Dunia maya banyak sekali mengganggu koneksi kita dengan dunia nyata. Terpecahnya fokus antara dua dunia seringkali lebih memenangkan fokus kita kepada dunia maya. Coba saja, saat sedang enak-enak ngobrol dengan teman kita, tiba-tiba suara notifikasi yang sering kita dengar berbunyi. Bukankah fokus kita akan condong kepada dunia maya kita? Entah apa yang ada di dalamnya, penting atau tidak,urgent atau tidak, pokoknya tiba-tiba fokus kita beralih ke dunia maya kita. Itu adalah salah satu gambaran bagaimana dunia maya sudah mengganggu koneksi kita dengan dunia nyata. Dengan melakukan disconnect, kita akan lebih terhubung dengan apa yang dihadapan kita sekarang ini, alih-alih membagi koneksi dengan dunia maya. “Lho, memang kenapa kalau kita terkoneksi dengan dua dunia sekaligus. Toh, otak kita adalah superkomputer yang luar biasa, sangat mumpuni tentu untuk mengelola dua dunia sekaligus”. Jadi begini…

Switch focus, atau peralihan fokus adalah kondisi di mana otak kita harus mengubah aliran listrik fokusnya dari satu hal ke hal yang lain. Dalam dunia nyata kita bisa melihat contohnya pada kasus kamera. Jika kita ingin mengubah fokus kamera dari satu titik ke titik lainnya itu memerlukan proses sekian detik, dan ketika fokus kita berpindah ke satu hal maka hal lainnya akan menjadi buram. Begitulah yang terjadi ketika kita mendengar notifikasi atau merasakan getaran dari smartphone ketika kita sedang membaca misalnya. Fokus kita akan berubah kepada notifikasi yang terdengar kemudian kembali lagi ke bacaan kita jika memang kita tidak menggubris apa yang ada di smartphone kita. Ya, kita memang bisa dengan mudah mengubah fokus kita, tapi switch focus itu memakan energi yang banyak dan akan membuat otak kita semakin cepat merasa lelah. Buktinya bisa kita lihat dari keseharian kita scroll media sosial. Saat scroll media sosial terlalu lama, kita akan merasakan rasa lelah, padahal kita hanya duduk atau rebahan saat melakukannya, bagaimana bisa? Karena ketika scrolling kita terlalu sering mengganti fokus kita dari satu hal ke hal yang lain yang membuat energi kita cepat terkuras. 

Konsep disconnect to reconnect sangat baik diterapkan untuk mempertajam kembali fokus kita yang tumpul akibat fenomena media sosial. Kita bisa menerapkan konsep ini ketika kita sedang melakukan hal penting yang membutuhkan fokus untuk membuatnya menjadi sempurna, seperti menulis, membaca, belajar, mengaji, bekerja, rapat, dan sebagainya. Kita harus berani untuk mematikan data kita ketika sedang melakukan hal-hal penting di dunia nyata. Begitulah cara untuk kembali mendapatkan koneksi kita yang telah terkikis dengan dunia nyata ini. Jangan takut kehilangan koneksi dengan dunia ketika kehilangan koneksi internet, karena sebenarnya dengan kehilangan koneksi internet kita malah mendapatkan kembali koneksi dengan dunia. Dunia yang seharusnya kita tinggali.

Penulis: Gaza Satria Lutfi
Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mungkin kamu juga suka
930 x 180 PASANG IKLAN DI ESI

Semua Fitur MyESI App

Al-Quran

Hadits

Talaqqi

Tulis

Kuliah

Maps

Market

Web Masisir

Kitab

Wirid & Doa

E-Learning

Maulid

Intif Mesir

DKKM

Qiblat

Copyright © 2024 MyESI App
All rights reserved.