Alasan Tidak Ada Nabi Setelah Rasulullah Saw.
Oleh: Rizky Kurniawan
(Mahasiswa tingkat 4 Jurusan Tafsir dan Ulumul Qur’an, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar Cairo)
Allah Swt. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki akal untuk tujuan beribadah dan memakmurkan alam semesta. Dari latar belakang seperti itu, maka diperlukan seseorang atau utusan yang bisa menjelaskan bagaimana beribadah kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan bagaimana pula cara memelihara dan melestarikannya.
Bagi seorang muslim, tentu tidak diragukan lagi atas pengetahuannya mengenai utusan-utusan dari Tuhan yang dalam Islam dikenal dengan istilah nabi dan rasul. Secara bahasa, makna nabi dan rasul memiliki kemajemukanya tersendiri, tetapi bertemu dalam makna bahwa keduanya adalah seseorang yang memiliki kabar untuk kemudian disampaikan.
Dalam terminologi Islam—mengambil salah satu definisi yang masyhur—bahwa nabi ialah seseorang yang diangkat oleh Allah Swt. untuk menjadi petunjuk bagi umatnya dan tidak dibebani untuk menyampaikan kabar-kabar langit, sedangkan rasul ialah seseorang yang terpilih untuk menyampaikan risalah langit kepada umatnya. Lantas definisi di atas dikritik oleh sebagian ulama dengan alasan karena tidak mungkin seorang utusan Allah Swt. membisukan lisan untuk memberikan kabar, karena salah satu syarat wajib bagi nabi dan rasul adalah memiliki sifat tabligh.
Karenanya, beberapa ulama mendefinisikan nabi adalah seseorang yang dipilih untuk menjadi petunjuk bagi umatnya akan tetapi tidak diberikan syariat baru, sedangkan rasul ialah seseorang yang dipilih oleh Allah Swt. untuk menyampaikan syariat baru kepada umatnya. Sehingga hal tersebut tidak menabrak dasar-dasar kenubuwwahan dan kerisalahan.
Sebagaimana lazim diketahui, jumlah nabi dan rasul yang wajib diketahui oleh seorang muslim adalah 25 orang yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam kitabnya dan Nabi Muhammad pada sabda-sabdanya. Namun jumhur ulama menyebutkan bahwa jumlah nabi yang diturunkan ke dunia sejumlah 124.000 dan jumlah Rasul yang diutus oleh Allah adalah 313. Jumlah yang ditentukan oleh sebagian ulama sebenarnya tidak bermaksud untuk membatasi, karena adat orang arab untuk memberikan isyarat banyak adalah dengan menyebutkan bilangan yang dianggap banyak.
Ada pertanyaan yang muncul dari kawan saya di waktu yang lalu, ia mempertanyakan, “Kenapa ada nabi dan rasul terakhir? Bukankah lebih baik untuk mengutus nabi dan rasul di setiap zamannya?” Pertanyaan tersebut sangat sederhana tetapi menarik untuk dijawab. Penulis akan sedikit mencoba menjawab dengan ringkas sehingga pembaca dapat menyimpulkan narasi tersebut dengan kalimat yang tidak bertele-tele.
Hal pertama yang harus diamini adalah bahwa pengutusan nabi dan rasul itu pasti memiliki tujuan dan juga memiliki kondisi-kondisi yang bisa menjadi variabel diutusnya mereka. Allah Swt. berfirman,
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang ditunjuk untuk seluruh manusia, kalian memerintahkan hal-hal yang baik dan melarang hal-hal yang buruk dan kalian beriman kepada Allah. Andaikan ahlu kitab itu beriman maka mereka lebih baik daripada orang yang mukmin, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mukmin dan mayoritas adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Ali Imran [3]: 110)
Di sini, terlihat Allah menjelaskan bahwa setiap utusan-Nya memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan, mereka memiliki rahmat untuk seluruh makhluk dan menyampaikan kebenaran. Hal ini terjadi di dalam tubuh umat Islam secara keseluruhan seakan-akan seorang muslim adalah rasul bagi umat muslim yang lain.
Dari ayat tersebut juga bisa dipahami bahwa umat Rasullah adalah umat terbaik yang ada di permukaan bumi, yang tersifati dengan salah satu sifat kenubuwwahan dan kerisalahan. Sehingga secara implisit, kita dapat menangkap bahwa sebab diutusnya nabi dan rasul telah gugur karena hal tersebut.
Mengutip dari kitab Khotmun Nubuwwah fi Dhouil Quran was Sunnah karya Abul A’la Maududi, beliau menyebut empat sebab diutusnya nabi dan rasul yaitu :
- Karena terdapat umat yang tidak pernah muncul dari keturunan mereka nabi dan rasul ataupun nabi dan rasul dari umat lain yang mengunjungi mereka.
- Telah diutus nabi atau rasul di umat tersebut, akan tetapi bekas risalah tersebut telah dihapus oleh tangan-tangan orang fasik dan dirubah menjadi suatu hal yang menyesatkan sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menemukan petunjuk yang sempurna.
- Telah diutus nabi atau rasul kepada suatu kaum, akan tetapi pengajaran syariat dan hidayahnya tidak bersifat universal, sehingga membutuhkan suatu tambahan dengan diutusnya nabi atau rasul lain yang membawa risalah.
- Telah diutus nabi atau rasul kepada suatu kaum, akan tetapi kondisi menuntut untuk menjadikan nabi atau rasul tersebut menjadi pendukung dan pembenar bagi nabi atau rasul sebelumnya.
Syekh Abul Ala Maududi menyebutkan bahwa sebab-sebab yang telah disebutkan diatas tidak ditemukan pada zaman setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallama wafat.
Agama Islam merupakan agama yang universal, dengan makna bahwa agama tersebut tidak dikhususkan untuk kaum atau kelompok tertentu, sehingga dakwah Islam dewasa ini sebenarnya bisa diraih oleh seluruh orang ataupun beberapa ulama yang akan turun gunung menyampaikan agama yang sempurna ini. Lantas sebab pertama telah gugur dengan alasan tersebut.
Lalu, Al-Qur’an yang menjadi salah satu mukizat paling agung dan mulia bagi Nabi Muhammad merupakan pedoman umat Islam yang tidak akan pernah bisa untuk dirubah isinya ataupun dihilangkan sebagiannya, karena Allah Swt. sendiri telah menjanjikan keterjagaanya dari perbuatan-perbuatan tercela. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami senantiasa menjaganya.” Sebab kedua pun gugur.
Kemudian, Allah Swt. pun telah menyempurnakan agamanya melalui perantara diutusnya Nabi Muhammad, sehingga tidak memerlukan nabi atau rasul lain yang melengkapi syariat Islam, begitu pun juga Nabi Muhammad tidak memerlukan seseorang yang menjadi nabi atau rasul yang akan membenarkan dan mendukung beliau. Karenanya, sebab ketiga dan keempat pun ikut gugur.
Jika ada yang berkata: “Umat manusia sekarang telah rusak moral dan karakternya sehingga memerlukan utusan dari nabi atau rasul yang baru untuk memperbaiki kerusakan itu,” maka kita bisa menanyakan kembali, “Apakah cukup hanya karena memerlukan perbaikan, Allah Swt. mengutus nabi atau rasul untuk kesekian kalinya setelah Nabi Muhammad?” Pertanyaan tersebut adalah pengantar bagi jawaban yang akan saya jelaskan. Sesungguhnya tidak akan terjadi pengutusan nabi atau rasul kecuali karena untuk diberikan wahyu, untuk menyampaikan syariat baru, untuk melengkapinya, dan juga untuk membersihkan syariat-syariat dari perbuatan-perbuatan tercela seperti merubah, menambah, dan mengurangi kitab suci.
Semua kebutuhan itu telah terpenuhi setelah diutusnya Nabi Muhammad ke permukaan bumi, lantas tentu gelar yang disandang oleh Rasulullah sebagai khôtamunabiyyin (penutup para nabi) bukanlah tidak dilandasi oleh latar belakang yang kuat.
Syaikh Sya’rawi salah satu ulama Mesir yang fenomenal mengatakan bahwa rahasia kenapa pengutusan nabi dan rasul diberhentikan oleh Allah Swt. ialah karena umat Islam sekarang dipenuhi oleh masing-masing individu yang memiliki nafsu lawwamah (yaitu nafsu yang mendorong manusia untuk suka menyalahkan, misalnya kenapa aku melakukan ini? Seharusnya aku harus melakukan itu!), dan juga memiliki individu yang ber-amar makruf nahi munkar. Sehingga dari kelas yang paling kecil pun yaitu individu sampai kelas yang paling tinggi yaitu masyarakat, agama Islam menjadi agama yang tidak memerlukan penjelas lagi ataupun syariat pengganti.
Dulu pada zaman dimana Nabi Muhammad saw. belum diutus, masyarakat jahiliah tidak memiliki nafsu lawwamah ataupun amar makruf nahi munkar. Ketika Rasulullah diutus, maka barisan pertama yang menentang dan memerangi Nabi Muhammad ialah barisan para pembesar, sehingga ini jelas menggambarkan betapa rusaknya moral dan karakter pada masa itu, sampai diutuslah Nabi Muhammad untuk memberikan rahmat kepada alam semesta.
Jelaslah Islam bagi penduduk bumi pada masa sekarang ataupun masa depan seperti jelasnya matahari. Islam adalah agama sempurna yang tentunya disampaikan oleh nabi yang sempurna pula. Sekian, wassalam.
Penyunting: Rifqi Taqiyuddin
Baca juga: Infiltrasi Akidah Paganisme