Wawancara Eksklusif dengan Dr Ahmad Ikhwani, Mengupas Pengalaman Beliau 20 Tahun di Mesir (Part 1) - MyESI App

Wawancara Eksklusif dengan Dr Ahmad Ikhwani, Mengupas Pengalaman Beliau 20 Tahun di Mesir (Part 1)

Masisir mana yang belum kenal dengan Dr. Ahmad Ikhwani Syamsuddin? Sosok yang baru saja mendapatkan gelar doktoral dalam bidang hadits dengan nilai Summa Cum Laude alias sempurna.

Bukan hanya itu, salah satu penguji disertasinya yang juga merupakan seorang anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar dan Muhaddits (pakar Hadits) zaman ini, yaitu Prof. DR. Ahmad Ma’bad memuji habis-habisanan Dr. Ahmad Ikhwani dengan mengatakan bahwa beliau telah mencapai derajat yg tinggi dalam pemahamannya yg sempurna terhadap hadits, baik sanad maupun matan.

Baca berita terkait: Raih Doktoral, Dr. Ahmad Ikhwani Tuai Pujian Prof. Ahmad Ma’bad

Pada hari Ahad, tanggal 14 Juli 2019 lalu, kami membuat janji dengan Dr. Ahmad Ikhwani untuk mewawancarai beliau secara eksklusif dan sharing mengenai pengalaman beliau yang sudah 20 tahun di Mesir sekaligus meminta nasehat mengenai kegiatan belajar, khususnya selaku mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir).

Tanpa berpanjang kalam, berikut ini adalah bagian pertama dari wawancara yang kami lakukan selama kurang lebih satu jam di kediaman beliau. Setiap kepala kalimat, itu adalah pertanyaan atau catatan yang kami sampaikan agar memperjelas para pembaca. Sedangkan setiap paragraf yang ditulis di bawahnya merupakan kalimat dari Dr. Ahmad Ikhwani. Selamat menikmati.

Mengapa Memilih Mesir?

Kalau keinginan belajar ke Mesir sendiri, itu sudah ada sejak masih di Madrasah Aliyah (MA). Saya ketika di Aliyah menempuh program khusus (PK) yang memang lebih fokus ke materi-materi agama. Sedangkan  bahasa yang sehari-hari digunakan di sana adalah bahasa Arab dan Inggris. Sejak itu, menurut saya, yang paling cocok untuk diri saya sendiri adalah melanjutkan belajar ke luar negeri. Tapi saat itu saya tidak berani bermimpi terlalu jauh untuk studi keluar negeri.

Salah satu faktor yang membuat saya ingin ke Mesir juga adalah ketika membaca iklan belajar ke Mesir. Namun, sayangnya, akses untuk mendapatkan kesempatan belajar ke Mesir di Lampung itu tidak sebagus di Jawa, apalagi dulu belum ada internet.

Setelah lulus MA, saya coba mendaftarkan beasiswa ke Mesir di Jakarta. Namun, masih belum diterima. Ketika itu, bagi saya, satu-satunya jalan ke Mesir adalah melalui beasiswa. Saya tidak berani mengambil risiko terjun bebas, di samping ada keterbatasan ekonomi juga.

Dari kiri: Dr. M. Afifuddin Dimyathi, Dr. Ahmad Ikhwani, Abdul Somad, Lc. MA, Dr. Lukmanul Hakim | FB M Afifudin Dimyathi

Karena tidak lulus, maka memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta dan tidak terpikir untuk melanjutkan ke Mesir. Saya sempat kuliah di Yogyakarta selama dua tahun. Lalu ada pengumuman tes beasiswa ke Mesir. Saya pun iseng coba daftar beasiswa lagi, alhamdulillah ternyata diterima. Saya pun meninggalkan kuliah saya di Yogya dan mengambil beasiswa itu pada tahun 1998, bersama 73 penerima beasiswa lainnya, termasuk waktu itu ada Ustadz Abdul Shomad juga.

Bagaimana Kondisi ketika Datang ke Mesir?

Mesir ketika itu sangat luar biasa, ya. Tentunya berbeda dengan sekarang. Terutama kondisi alam, masyarakat, dan ekonominya.

Kondisi ketika saya datang ke Mesir dulu juga masih belum banyak akses internet dan HP. Semakin pelik, karena di rumah saya belum ada telephon juga. Saya ketika itu hanya mengandalkan surat untuk memberi kabar ke keluarga.

Tapi, meskipun saya tiap 2-3 bulan kirim surat, namun surat saya nggak pernah sampai ke rumah. Dan ini baru saya ketahui 3 tahun setelahnya ketika berangkat haji dan ketemu saudara saya yang kuliah di Universitas Islam Madinah. Saya dimarahi karena dianggap nggak pernah kasih kabar ke keluarga selama 3 tahun lamanya. Intinya, ketika itu bisa dikatakan saya ya udah pasrah dengan berbagai hal yang ada di Indonesia.

Hingga kemudian akhirnya, saya coba kirim surat kepada saudara saya di Jawa, alhamdulillah sampai.

Suatu hari, ketika ingin ke Kedutaan Besar Republik Indonesia, karena terbatasnya bahasa dan ketika itu belum ada GPS dan sejenisnya, saya kesasar sampai ke daerah Giza. Daerah Pyramid sana.

Adapun kelebihan yang saya rasakan ketika itu adalah aktifnya forum-forum diskusi. ada juga grup-grup Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Saya dan beberapa teman membuat forum diskusi berbasa Arab untuk membahas diktat kuliah. Kami menyadari bahwa modal bahasa adalah modal yang sangat berharga untuk menuntut ilmu agama, apalagi di Mesir.

Kembali lagi, dengan kondisi yang terbatas itu, kami jadi lebih aktif dalam membuat forum diskusi, membahas kitab-kitab, menulis jurnal, buletin dan sebagainya. Karena ketika itu akses untuk mendapatkan buku tidak semudah mendapatkan pdf seperti sekarang ini, maka untuk mendapatkan referensi kami harus sering ke perpustakaan.

Bisa dibilang, ketika itu ya kondisinya cukup berat kalau dibanding sekarang.

Setelah 5 bulan di Mesir, saya pindah ke Bu’uts. Di sana saya banyak berinteraksi dengan kawan-kawan dari berbagai negara, seperti India, Asia Tengah dan Afrika. Selain aktif berbahasa Arab, sebagian mereka sangat mahir dalam bahasa Inggris, dan sebagian mahir berbahasa Perancis, karena memang bahasa resmi di negara mereka.

Karena persahabatan saya dengan mereka, alhamdulillah praktek bahasa Arab saya juga jalan. Selain itu, saya juga sempat belajar bahasa Inggris dan Perancis dengan mereka. Dulu, saya bisa 3 bahasa asing, Arab, Inggris, dan Perancis. Tapi sekarang tinggal Arab aja.

Nah, yang saya tahu, mahasiswa sekarang katanya banyak menghabiskan waktu di kamar aja, ya? Akhirnya bahasa Arabnya jadi kurang terpakai.

Secara ekonomi, di negeri kita tahun ’98 sedang krisis moneter. Kondisi ini menyebabkan sebagian pelajar terpaksa harus pulang ke Indonesia dengan memanfaatkan pesawat Garuda yang pulang dalam kondisi kosong setelah mengantar jamaah haji ke Tanah Suci. Pernah juga, sebagian teman pulang dengan menumpang kapal yang baru dibeli Indonesia dari salah satu negara Eropa dan lewat di terusan Suez.

Jadi, dari Saudi, pesawatnya mampir ke Mesir dulu untuk mengangkut para pelajar yang mengalami masalah ekonomi (karena para pelajar dapat kiriman dari Indonesia berupa dollar, sedangkan dollar anjlok ketika itu).

Mengetahui hal ini, banyak orang Mesir yang tidak terima. Mereka merasa zhalim kalau ada penuntut ilmu di negeri mereka yang kelaparan dan kesusahan, tapi mereka membiarkan begitu saja.

Bahkan, ada yang cerita, dulu ada orang kampung yang datang ke KBRI hanya membawa 75 Le, “Ini, saya ingin bantu para pelajar dengan apa yang saya punya.”

Dulu, kami para pelajar itu banyak dapat bantuan dari orang-orang Mesir, sekalipun bukan dari mereka-mereka yang kaya. Sebagian bahkan cuma pedagang makanan kecil-kecilan.

Itu ketika Mesir belum mengalami krisis seperti sekarang. Secara umum, sifat orang-orang Mesir itu dermawan. Sekarang pun, walau dalam kondisi krisi, sifat tersebut pun masih terasa.

Pesan

Teman-teman, kita, para pelajar di Mesir ini, kan paling sering dikritik dari segi kemampuan bahasa Arabnya, ya? Kita banyak kalah dari pelajar Indonesia lain yang belajar di Yaman, Saudi, Sudan, atau Libya, bahkan yang belajar di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, pandai-pandailah membuat sarana yang bisa meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya.

Sekarang kan antum enak, ya. Kalau nggak tahu kosa kata dalam bahasa Arab bisa langsung lihat aplikasi yang macem-macem itu. Dulu, kami kalau ada kata yang tidak kami pahami, ya buka kamus satu per satu. Di satu sisi, kita juga nggak mungkin kalau kemana-mana bawa kamus. Jadi, kami mau nggak mau ya harus sering menghafal mufrodat di rumah.

Pesan Prof. Mushthafa Abu Imarah, “Kamu bertahan 2 tahun untuk belajar bahasa Arab tapi punya pondasi yang kuat, lebih baik daripada belajar bahasa Arab 1 tahun tapi lemah pondasinya. Karena bahasa Arab itu modal.”

Bagaimana Bisa Bertahan Ditengah Susahnya Kondisi Kala Itu?

Ilustrasi | unesco.org

Kalau Antum bilang kondisi ketika itu susah, karena Antum bandingkannya dengan sekarang. Kalau saya yang ngalami dulu, ya biasa saja, nggak terasa susah.

Kalau disebut apa yang bisa membuat saya bertahan, ada beberapa hal, diantaranya faktor ekonomi ketika itu.

Selesai S1, saya memberi kabar kepada keluarga, bahwa S1 saya sudah selesai. Kemudian memberikan opsi kepada mereka, mengenai kelanjutan kuliah saya, yang pertama adalah tetap di Mesir, tapi resikonya masa pendidikan yang lama. Atau, kalau mau cepat, bisa ke Sudan atau Malaysia, namun biayanya besar.

Keluarga saya pesan, “Udah, lanjut di situ (Mesir) aja, nggak usah pulang dulu. Takutnya, nanti kalau pulang malah nggak bisa balik lagi.”

Di satu sisi, ada prinsip di keluarga saya mengenai pendidikan ini. Prinsip itu adalah selesaikan tingkat tertinggi di mana kami belajar. Dan memang, orang tua nggak menyuruh untuk cepat-cepat pulang.

Untuk menambah pengalaman sekaligus penghasilan di Mesir, sejak tahun ketiga kuliah, saya mulai belajar menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Awalnya, saya dan tiga teman saya membuat semacam kelompok diskusi hadis. Dan banyak artikel tentang hadis jurnal berbahasa Arab Kami lantas kepikiran untuk mengirimkan terjemahnya ke penerbit di Indonesia melalui email, tapi ternyata ditolak.

Kami malah ditawari untuk menerjemah beberapa kitab, yang memang katanya sedang banyak diminati di Indonesia. Setelah diskusi dengan teman-teman, akhirnya kami terima tawaran itu.

Selain itu, kami juga aktif di jurnal OASE-ICMI dan bergabung di beberapa organisasi, seperti Senat Ushuluddin, ICMI, dan PCINU. Dulu saya dan teman-teman kadang disuruh menghadap ke bos-bos perusahaan, macam Singapore Airlines dan Coca-cola untuk menawarkan kerjasama iklan di jurnal kami. Hehe.

Dua tahun pertama menempuh Pendidikan S2, saya masih belum dapat beasiswa. Tapi, alhamdulillah masih ada tabungan dari hasil menerjemah kitab-kitab tadi. Setelah 2 tahun, alhamdulillah dapat beasiswa dari Baituz Zakat.

Selain itu, yang membuat bertahan juga adalah rasa penasaran terhadap ilmu-ilmu yang belum saya ketahui dan pelajari.

Bersambung

One thought on “Wawancara Eksklusif dengan Dr Ahmad Ikhwani, Mengupas Pengalaman Beliau 20 Tahun di Mesir (Part 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mungkin kamu juga suka
930 x 180 PASANG IKLAN DI ESI

Semua Fitur MyESI App

Al-Quran

Hadits

Talaqqi

Tulis

Kuliah

Maps

Market

Web Masisir

Kitab

Wirid & Doa

E-Learning

Maulid

Intif Mesir

DKKM

Qiblat

Copyright © 2024 MyESI App
All rights reserved.