Untuk Calon Ulama
Oleh: Ust. Fakhry Emil Habib (Wakil Presiden PPMI MESIR 2017-2018)
Seorang mahasiswa lulusan sebuah pesantren moderen mendatangi seorang ulama. Pikirannya kalut, orientasinya berkabut, ia hendak bertanya dan meminta nasihat.
“Abuya. Saya seorang lulusan pesantren terkemuka. Nilai-nilai saya cemerlang. Kini pun saya termasuk mahasiswa berprestasi. Namun kenapa saat saya terjun ke masyarakat, saya merasa ilmu saya tak jauh beda dengan masyarakat awam? Padahal bertahun sudah saya lalui, banyak materi sudah saya korbankan. Bahkan saya rela untuk berpisah dengan orang tua,”
Sang ulama sejenak diam. Kemudian bertanya.
“Sudah berapa lama kamu belajar agama, anakku?”
“Ada sekitar 9 tahun, Abuya,” jawab si pemuda.
“Dalam 9 tahun itu, adakah Ananda sudah menghafal al-Quran serta hadis-hadis hukum, setidaknya yang terangkum dalam Bulughul Maram? Dan apakah sanadnya sampai kepada Nabi Saw?”
“Al-Quran alhamdulillah sudah, Abuya. Namun hadis hanya hadis populer saja. Juga tidak bersanad,”
“Dalam 9 tahun itu, adakah ananda sudah hafal dan menguasai Matan al-Ajurrumiyah, Alfiyyah Ibni Malik dan Amtsilah Tashrifiyah, Matan as-Sullam Munawwaraq?”
“Belum, Abuya,”
“Dalam 9 tahun itu, sudahkah Ananda menguasai fikih secara komprehensif hingga kitab Minhajut Thalibin Imam Nawawi As-Syafi’i?”
“Belum, Abuya,”
“Dalam 9 tahun itu, adakah Ananda mematangkan konsep akidah, dengan menguasai kitab Aqidatul Awwam dan Jauharatut-Tauhid?”
“Ada belajar, tapi sebatas yang dikurikulumkan dan tidak lengkap, Abuya. Kini pun sudah lupa-lupa,”
“Dalam 9 tahun itu, sudahkah Ananda pelajari akhlak serta metode penyucian diri, dengan mempelajari kitab-kitab akhlak seperti Ta’limul Muta’allim serta Ihya Ulumuddin?”
“Kitab-kitab itu pernah saya dengar, namun tidak pernah saya pelajari, Abuya,”
“Dalam 9 tahun itu, sudahkah Ananda mematangkan konsep untuk memilah dan memahami dalil agama, dari ilmu tafsir, mustalah hadis dan usul fikih?”
“Ada Abuya. Tetapi kembali pada permasalahan tadi, hanya sebatas kulit, yang diwajibkan oleh kurikulum. Bukunya pun sebatas buku ringkas, tidak sampai kepada kitab klasik,”
Si pemuda mulai sadar bahwa semua yang ditanyakan sang ulama sebenarnya hanyalah pengetahuan dasar yang harus dikuasai untuk menjadi ulama. Dan ternyata tak sampai setengah yang ia capai.
“Abah tidak ingin membuat Ananda putus asa. Namun juga tidak ingin membiarkan Ananda berlarut dalam rasa bimbang dan kalut karena merasa belum menjadi ulama,”
“Abah pikir, Ananda sudah paham sekarang, mengapa Ananda merasa tidak jauh berbeda dengan orang awam. Karena memang Ananda hanya orang awam. Tidak memiliki kredibilitas untuk jadi ulama,”
“Maksud Abuya, 9 tahun yang sudah saya lalui sia-sia?” si pemuda bertanya.
“Dikatakan sia-sia pun, tidak sepenuhnya benar. Karena paling tidak, ada manfaat satu-dua yang Ananda dapatkan. Lebih tepatnya, 9 tahun yang sudah ananda lalui ini tidak termaksimalkan,”
“9 tahun Ananda habiskan untuk belajar, jauh dari orang tua, banyak sudah habis waktu dan harta, pergaulan pun sempit hanya sebatas kawan sekolah dan asrama, badan juga kurus karena memang makan apa adanya, namun tak kunjung menjadi ulama. Keadaan ananda ini, kalau boleh Abah umpamakan, seperti orang yang ingin pergi menuju Jakarta. Ia sudah membeli tiket, sudah check in bandara, bahkan sudah naik pesawat, namun ternyata ia salah beli tiket. Pesawatnya memang sampai tujuan, namun tujuannya bukan Jakarta. Entah kemana, pastinya, Ananda memang sudah berpindah tempat. Hanya saja tempat Ananda kini bukanlah tempat yang Ananda harapkan,”
Si pemuda semakin tertunduk. Semakin sadar bahwa 9 tahun hidupnya seolah terbuang percuma.
“Keadaan Ananda dalam bahasa kampung Abah, umpama ‘minyak abih, samba ndak lamak’. Minyak goreng sudah habis, gas sudah terpakai, namun masakan yang telah jadi malah tidak enak sehingga terbuang. Karena proses memasaknya salah,”
“Abah tidak akan menyalahkan Ananda. Yang salah adalah sistem yang Ananda ikuti. Ananda percaya bahwa sistem tersebut akan membentuk Ananda menjadi ulama. Namun ternyata sistem tersebut malah membentuk Ananda menjadi preman tanggung, ulama tak jadi,”
“Namun, Ananda harus ingat. Tak ada kata terlambat dalam belajar. Cukup 9 tahun Ananda habiskan untuk menyadari bahwa Ananda memang belum patut disebut ulama. Untuk menyadari bahwa ‘kereta’ yang ananda tumpangi dulu salah. Kini saatnya Ananda perbaiki. Belajarlah dengan metode yang benar. Kuasai ilmu-ilmu terkait. Kalau perlu, hafal kitab-kitab ringkas agar pemetaan setiap cabang ilmu terpatri di dalam otak. InsyaAllah, Allah akan bukakan jalan untuk Ananda agar memang benar-benar bisa menjadi ulama,”
“Tetapi masyarakat sudah menuntut saya untuk sudah menjadi ulama, Abuya, mengingat sudah panjang tahun yang saya lalui,” ujar si pemuda, masih resah.
“Ananda. Tak peduli apa ekspektasi masyarakat, jangan coba menjadi apa yang bukan dirimu. Kalaupun masyarakat sudah menganggapmu ulama, jangan biarkan anggapan itu berlarut. Akuilah jika kamu memang tidak tahu. Rendah hatilah untuk mengatakan kalau kamu masih dalam proses belajar. Katakan bahwa menjadi ulama itu memang butuh perjuangan seumur hidup. Bukan dengan perjuangan 3, 6, 4, maupun 10 tahun saja,”
Si pemuda mengangguk takzim. Ia tarik nafas. Ada kelegaan terasa di sana.
“Terima kasih banyak, Abuya. InsyaAllah, kini saya akan mulai belajar dengan metode yang benar, agar bisa menjadi ulama sejati, pewaris para nabi. Tolong bimbing saya, Abuya,” pemuda menjawab mantap.
“InsyaAllah. Semoga Allah selalu membimbing langkah Ananda agar benar-benar menjadi lebih baik, benar-benar menjadi ulama,” jawab sang ulama sambil menggosok ubun-ubun se pemuda.
“Jika nanti Ananda benar-benar menjadi ulama, ingat pesan ini. Mempermudah pembelajaran agama dengan mengabaikan aspek yang wajib untuk dipelajari, akan mencetak ulama-ulama separuh jadi. Saat ulama macam ini turun ke masyarakat, muruah ulama menjadi rusak, dan setiap orang pun menjadi merasa bisa untuk berlagak sebagai ulama, karena ulama yang mereka pandang selama ini ternyata tak jauh berbeda pengetahuannya dengan mereka,”
***
Yang ingin jadi ulama, namun masih menaiki kereta yang salah, masih ada kesempatan untuk pindah, agar sampai pada tujuan,
Yang ingin jadi dokter pun, jika ia rajin jungkir balik mempelajari keilmuan arsitek, ahli mesin, perawat dan suster, ia tak akan jadi dokter. Maka metode belajar ini harus kita perhatikan,
Makanya ungkapan ‘man jadda wajada’ (kesungguhan) tidak berdiri sendiri, ia diiringi dengan ungkapan ‘man sara ‘alad darbi washala’ (kebenaran metode dan jalan),
Kesungguhan tanpa kebenaran metode adalah kesia-siaan. Kebenaran metode tanpa kesungguhan akan membuahkan kegagalan,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
Assalamu’alaikum ustadz.. Saya sansan Nuryana..
Izin bertanya.. Lantas bagaimanakah metode yang benar itu ustadz🙏🙏
Biasanya bagi para mahasiswa baru di Mesir akan dijelaskan manhaj untuk menuntut ilmu. Cara yg paling mudah untuk menitinya, bisa ikut program² yg ada di Mesir, sprti Rumah Syariah, Rumah Lughoh, Rumah Ushuluddin, Daar Washela dll.