Sekilas Konsep Kemajuan dalam Al-Quran
Oleh: Muhammad Irja Nasrullah, Lc.
(Mahasiswa S2 Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir)
Al Qur’an merupakan pedoman penting bagi umat Islam yang tak diragukan lagi keotentikannya, seperti firman Allah, “Dan tidak mungkin Al Qur’an ini dibuat-buat oleh selain Allah.” (QS. Yunus [10]: 37). Al Qur’an-lah yang mengungkap rahasia-rahasia keagungan Islam. Di antara rahasia keagungan itu adalah mendorong umat muslim untuk berpikir dan menggunakan akal.
Prof. Jum’ah Ali, di dalam kitabnya (Jalal al-Fikr, 2007), menyatakan ada 35 ayat Al Qur’an yang menyeru manusia untuk memikirkan apa yang dilihat; lebih dari 50 ayat menyuruh manusia untuk memerhatikan dan bertamasya di muka bumi, memikirkan keagungan ciptaan-Nya; serta 160 ayat berkaitan dengan masalah ilmu dan dorongan mempelajarinya.
Jika kita meneliti lebih jauh, tentang ayat-ayat yang di sampaikan oleh Guru Besar Al Qur’an dan Tafsir di Universitas Al Azhar Kairo tersebut, maka kita akan bertemu dengan ayat-ayat yang membicarakan alam semesta. Allah menginginkan hamba-hamba-Nya untuk memahami eksistensi-Nya melalui grand design (desain agung) ciptaan-ciptaan-Nya.
Allah Swt berfirman, “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. an-Nur [24]: 43). Ayat tersebut salah satu bukti kongkret bahwa alam seisinya diciptakan sedemikian rupa, agar manusia berpikir dan merenungkannya.
Sungguh merugi orang yang membaca Al Qur’an, tetapi tidak mentadaburi ayat-ayat-Nya. Memang benar, bahwa membaca Al Qur’an tanpa mentadaburinya pun sudah dianggap ibadah. Namun, bukankan kita tahu bahwa Al Qur’an diturunkan kepada manusia agar menjadi petunjuk hidup? Bagaimana mungkin bisa menerima petunjuk Al Qur’an tanpa mentadaburi maknanya? Mustahil, kelihatannya.
Kebanyakan umat muslim saat ini, terkekang dalam tradisi ritual ibadah dan terlena untuk menyerap esensinya. Contoh sederhana, ya tentang membaca Al Qur’an tanpa memahami maknanya tadi. Semua kegiatan ritual yang bersumber dari Rasulullah Saw adalah baik, tetapi akan lebih baik dan sempurna jika dibarengi dengan pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam ritualitas itu sendiri.
Permasalahan yang lebih runyam yang melanda sebagian kaum muslimin saat ini adalah menyempitkan makna ibadah tersebut. Ibadah dianggap hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan ritual di dalam masjid, puasa, haji, memutar biji tasbih, dan sejenisnya. Ritual-ritual tersebut dinamakan ibadah mahdhah (langsung). Pemahaman bahwa ibadah terbatas pada hal-hal tersebut, sangatlah fatal.
Ibadah sangat luas cakupannya. Segala sesuatu yang dilakukan karena Allah dan tidak keluar dari kanun yang ditetapkan-Nya adalah ibadah. Mempelajari sains, berdagang, menjahit, bertani, dan lainnya adalah ibadah. Ibadah-ibadah ini dinamakan ibadah ghairu mahdhah (tidak langsung). Pada hakikatnya, kedua jenis ibadah ini tak bisa dipisahkan.Seseorang yang mau melaksanakan shalat, harus menutupi auratnya dengan pakaian. Sedangkan pakaian sendiri dihasilkan oleh orang yang berprofesi sebagai penjahit. Kesimpulannya, orang tidak akan bisa shalat tanpa adanya penjahit. Berikut juga orang-orang mau haji; mereka tidak bisa naik haji tanpa adanya pesawat. Jadi, menjahit dan membuat pesawat adalah ibadah.
Islam menerapkan sistem keseimbangan dunia-akhirat. Sebuah ayat Al Qur’an menunjukkan hal itu. Allah berfirman, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah.” (QS. al-Jumah [62]: 10). Menurut Syaikh As Sa’dy (Taisir al Karim ar Rahman, 2010), maksud “bertebaranlah kamu di bumi” yaitu seruan kepada manusia untuk mencari nafkah dan berdagang.
Muhammad Asad (Islam di Simpang Jalan, 1981), menerangkan bahwa Islam bukanlah doktrin mistik dan bukan pula falsafah. Islam adalah program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya; dan hasil capaiannya yang paling tinggi ialah koordinasi yang sempurna daripada aspek-aspek spiritual dan material kehidupan insani.
Jadi, kalau selama ini ada oknum yang menyatakan bahwa Islam merupakan sumber keterpurukan umat, anggapan itu hanyalah anggapan ngawur yang tak bisa dibuktikan. Oknum yang juga berargumen bahwa untuk mencapai sebuah kemajuan, maka manusia harus keluar dari aturan-aturan agama tersebut kurang memahami konsep Islam yang sebenarnya.
Keterpurukan umat Islam saat ini tidak bersumber dari Islam tetapi bersumber dari “keterpurukan pribadi” umat muslim sendiri. Seandainya mereka memahami Islam dengan sebenar-benarnya serta mampu mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya keterpurukan itu tak akan pernah terjadi. Jadi, umat Islam (termasuk kita), perlu memahami lebih jauh lagi tentang Islam.
Bagaimana cara simpel dan efektif untuk mengenal lebih jauh tentang Islam? Jawabannya adalah dengan mentadaburi dan menyerap hal-hal yang terkandung dalam Al Qur’an, bukan sekadar membacanya. Seperti telah disinggung di atas, Al Qur’an sendiri merupakan pedoman inti dalam Islam. Maka, kembalilah ke intinya, berikut juga hadits yang kelak akan menyempurnakan dalam memahaminya
Baca Juga: Tantangan Al-Quran