Salah Sangka Seputar Talaqqi (Mengaji Langsung Kepada Guru)
Dalam proses transfer ilmu keislaman belum ada yang sebaik dan seefektif mengaji langsung kepada guru (talaqqi), duduk bersimpuh di kaki guru mengkaji kitab-kitab klasik. Buku-buku modern dan Universitas sangat tidak cukup. Tetapi ada banyak hal yang salah sangka terhadap talaqqi.
1. Talaqqi yang penting dapat berkah.
Ini kesalahan. Karena tujuan utama kita duduk mengaji dihadapan guru adalah agar paham ilmu, mewarisi cara berpikir guru, agar ketika pulang bisa membaca kitab-kitab besar sendiri.
Hubungan antara ilmu dan keberkahan itu umum wa khusus min wajhin: Bisa berkumpul di satu tempat dan berpisah di tempat lain.
Ilmu itu didapat dengan menghafal, belajar, hadir majlis ilmu. Keberkahan dicari melalui khidmah dan dzikir.
Ilmu dan keberkahan berkumpul pada thalib yang rajin belajar, dzikir dan khidmah.
Thalib yg hanya melalui jalan khidmah mustahil (‘adatan) akan menjadi ‘alim. Thalib yang hanya fokus pada ilmu rawan sombong dan keras hati. Hadir majlis ilmu niat untuk paham, bukan (hanya) nyari berkah. Kalau nyari berkah membaca Al-Quran lebih utama.
Sebaik-baik khidmah adalah memahami pelajaran dan ilmu yang disampaikan Syaikh lalu menyampaikan dengan baik kepada generasi selanjutnya. Maka terkumpul ilmu dan keberkahan.
2. Jauh-jauh ke Mesir kok belajar sama orang Indonesia.
Tujuan kita ke Mesir untuk belajar, untuk mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya, bukan untuk gaya-gayaan.
Kalau misalkan level kita masih Idhahul Mubham maka hadir di majlis Idhahul Mubham yang dijelaskan oleh orang Indonesia dan kita paham, lebih bagus daripada kita hadir di majlis Nihayatus suul Syekh Fulan yang mufti itu, tapi kita pulang tak membawa apa-apa. Sekali lagi menuntut ilmu itu melihat manfaat dan melihat level kita.
3. Mengejar sanad hadist yang tinggi.
Banyak dari kita ketika datang ke mesir melihat syekh Fulan ada majlis periwayatan hadist, selama sebulan full dari pagi hingga sore membaca hadis, kita ikut hadir majlis itu, padahal Nahwu Sharaf Balaghah dan ilmu Adab kita belum mutkin, sehingga hadir hanya untuk mengambil berkah hadist nabi. Bagaimana mau paham hadist kalau belum belajar Nahwu, Sharf, Balaghah, ushul dll. Dahulukan ilmu yang lebih penting.
Orang yang membawa sanad tinggi tapi tidak mempunyai ilmu alat dan ilmu dirayah justru lebih berbahaya, orang mengira dia ulama karenaz punya sanad tinggi, akhirnya ketika diminta menyarah shahih bukharinya, syarahnya kacau balau, karena tidak belajar ilmu dirayah. Jadilah sesat dan menyesatkan.
4. Belum selesai ngaji kitab mubtadi boleh ngaji kitab uang lebih tinggi?
Boleh. Tujuannya untuk menguji kemampuan kita, kalau kita sanggup mengikuti dan paham mayoritas yang disampaikan syekh lanjutkan, tapi kalau tidak sanggup, sadar diri dan pelajari ilmu-ilmu tangga mubtadi itu hingga sampai level yang tinggi.
5. Membaca sendiri gurunya syetan?
Kalimat ini benar tapi tidak mutlak, membaca sendiri gurunya syetan itu kalau kita tidak pernah mengaji duduk dengan guru, tidak menguasai kaidah-kaidah ilmu alat. Tapi kalau sudah pernah ngaji sampai level tertentu, ilmu alat sudah matang, justru sudah saatnya membaca sendiri, muthalaah memperluas bacaan.
6. Belajar wiridnya thalibul ilm. Gak perlu dzikir lagi?
Ini juga benar tapi tidak mutlak, kalau jiwa thalib bersih maka cukup dengan belajar saja. Tapi kalau jiwa masih kotor, mudah goyah, dzikir itulah yang menjaga semangatnya sepanjang hari agar selalu terjaga.
Wallahu a’lam.
Foto: mengkaji ilmu aqidah-ilmu kalam dengan syekh yang sepuh rasanya sangat berbeda, cahaya ilmu yang sudah beliau amalkan begitu terasa, rasa disirami sejuknya sirr makrifat beliau.
Hafizallah Syaikhal Malikiyyah al-Balaghiyyal Baligh Syaikh Abdus Shabur.
Sumber: FB Ust. Fahmi Ain Fathah