Memaknai Ramadhan, Al-Qur’an dan Peradaban
Memaknai Ramadhan, Al-Qur’an dan Peradaban
Oleh: Dr. Aguk Irawan MN, Lc.
(Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Jurusan Akidah Filsafat serta Penulis Produktif Buku-buku Best Seller)
Islam tidak saja hadir di tengah peradaban yang remuk dan serba gelap, tapi juga merakit ulang dan mengisinya dengan secercah cahaya. Bahkan, ia mampu membalikkan keadaan, dari yang semula amat mencekam dan mencemaskan menjadi penuh keberkahan dan kebahagiaan. Salah satu yang ditunjukkan itu adalah terkait sejarah bulan Ramadan.
An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzibul Asma wal Lughat menyebutkan beberapa pendapat ahli bahasa, terkait asal penamaan Ramadan, satu di antaranya yang paling dipercaya, diambil dari kata ar-Ramd, yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Sehingga bulan ini dinamakan Ramadan, musim menahan makan-minum dan bertepatan dengan musim panas yang paceklik.
Dampak dari musim itu, nyaris tak ada sumber matair, dan orang dibuat berang, juga kalap dan konflik antar suku yang tak berkesudahan demi seteguk air. Tetapi, anehnya justru di bulan inilah Alquran diturunkan, dengan sebagai petunjuk, juga penyejuk (al-huda).
Bahkan, Ramadan disebut sebagai bulan Alquran yang penuh keberkahan, sebagaimana termaktub dalam QS. al-Baqarah, ayat 185:
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan sebagai pembeda (al-furqan).”
Jika ditilik lebih juah, ada tiga kata kunci yang bisa dicermati pada ayat di atas, pertama yaitu Ramadan, lalu Alquran dan ketiga al-huda. Apalagi ini disebut secara berurutan dan dalam waktu yang bersamaan.
Kalimat pertama, tentu saja Ramadan. Kita tahu, dua puluh sembilan atau tiga puluh hari dalam bulan ini telah diwajibkan bagi umat muslim untuk berpuasa. Lebih dari itu, djelaskan pula bagaimana caranya. Ternyata dengan cara ini adalah solusi bagi berkurangnya persediaan air.
Hikmah lainnya, tentu menjadikan masyarakat guyup dan belajar bahu-membahu sampai datangnya musim baik. Disini air adalah simbol kehidupan, maka jika ada krisis yang lebih besar dalam peradaban, maka tidak lain, solusinya adalah Alquran.
Alquran
Kata ini menurut Kamus Lisanul Arab terambil dari kata qa-ra-a, qiraatan, wa qur’anan, yaitu membaca, menelaah dan bacaan atau literasi. Dari kata ini pula lahir iqra, yaitu bacalah (perintah membaca), sebagaimana perintah ayat pertama dari Alquran al-Alaq.
Lalu ada juga kata istiqra, yang berarti meneliti atau observasi, juga lahir kata al-quru-u yaitu yang mengabdikan dirinya. Sacara keseluruhan kata al-Quran, menunjuk pada sifat literasi. Dengan demikian tak berlebihan jika Thomas Bartholin, teolog asal Denmark pernah mengatakakan, solusi kemacetan sains dan peradaban hanya satu, yaitu literasi.
Lebih dari itu, menurutnya, literasi tak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubahnya. Tanpa literasi, Tuhan diam, keadilan terbenam, sains macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan.
Karena dengan literasi, kepribadian seseorang, juga sosial bisa terbentuk, dan lantaran literasi pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta. Statemen ini masih terus bergema, bahkan pembuktiannya bisa lebih jauh dari hadirnya statemen ini.
Salah satu pembuktiannya, sudah ditulis oleh Ibnu Al-Nadim dalam kitabnya Al-Fihrist, menurutnya, ketika Islam pernah menggapai abad kejayaan pada abad 7 M, penggeraknya tidak lain adalah literasi. Khalifah Al-Ma’mun (813-833) saat itu menerapkan kebijakan agar tiap marhalah (desa) dibangun perpustakaan, lengkap dengan ribuan literasi.
Penjual literasi disubsudi dari uang negara, agar harganya tak lebih mahal dari sepotong roti. Berkat kebijakan ini, tradisi literasi begitu hebat, masyarakat setelah sibuk bekerja di pasar misalnya masih sempat berdiskusi, sementara sebagian yang lain sibuk menulis dan menerjemah karya Yunani Kuno. Dampak dari ini menjamurnya Akademi- Akademi, seperti Bait Al-Hikmah, Dar Al-Imi, dan lain sebagainya.
Tak sampai satu tahun berjalan dari kebijakan itu, lahirlah sarjana brilian seperti Al-Kindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; kemudian Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka, penemu Al-Jabar. Al-khawarizmi menulis karya monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah. Kebijakan ini juga diterapkan di Kairo.
Menurut catatan Sardar, di hampir marhalah (kampung) di Kairo, juga terdapat perpustakaan, yang terbesar adalah perpustakaan Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan di Aleksandariyah oleh salah seorang pejabat Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari 1,6 juta literasi, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.
Masih di Bagdad, pada 1227 M, khalifah Muntasir Billah, dikisahkan lebih dari itu, ia justru mencetak literasi dan dibagi-bagikan sendiri secara percuma, disetiap kunjungan kenegaraannya. Bahkan ia mendirikan jumlah perpustakaan lebih banyak ketimbang pendirian tempat ibadah.
Dari situ, perpustakaan tidak saja sebagai tempat untuk membaca literasi, tapi juga ajang penyelenggaraan riset secara intensif, juga ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai spesifikasi dan disiplin ilmu.
Para penguasa di kurun itu dinilai sebagai pribadi-pribadi yang memiliki perhatian penuh terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan keterlibatan mereka secara langsung dalam membangun perpustakaan. Ini diakui oleh J. Pedersen dalam The Arabic Book (1984) bahwa, dunia ilmu pengetahuan telah menduduki posisi yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika para penguasa dan orang-orang yang mampu ikut ambil bagian dan mengusahakan kemajuannya.
Pada 1065, perdana menteri pemerintahan Saljuk, Malik Shah –dalam sejarah dikenal dengan nama Nizam Al-Mulk–mendirikan perpustakaan Nizamiyah sebagai sentral penyimpanan buku-buku bagi kelangsungan aktivitas keilmuan di Madrasah Nizamiyah.
Jumlah koleksi buku di perpustakaan itu hampir sama dengan koleksi buku di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Namun, menariknya, peningkatan jumlah koleksi di perpustakaan ini diselenggarakan dengan program wakaf besar-besaran.
Ibn Al-Thir menyebutkan, Muhib al-Din An-Najjar al-Baghdadi mewakafkan koleksi pribadinya dalam jumlah relatif banyak. Bahkan khalifah An-Nashir juga ikut ambil bagian dalam program pewakafan itu dengan menyumbangkan ribuan buku.
Perpustakaan itu mempekerjakan pustakawan reguler sebagai karyawan yang digaji tinggi. Di antara pustakawan terkenal seperti Abu Zakariyyah al-Tibrizi dan Yaqub Ibn Sulaiman al-Askari bekerja di perpustakaan ini. Di sana pula Nizam al-Mulk al-Tusi (wafat 1092) menghabiskan sebagian besar waktunya dan menulis buku tentang hubungan internasional, Siyar Mulkyang terkenal itu.
Al-Huda
Kata ini menurut Kamus Lisanul Arab terambil dari kata ha-da, hudan, wahadyanwahidyatan, yang berarti irsyada, yaitu menunjukkan, petunjuk, juga penyejuk. Dari kata ini lahir kata ahda alhadiyah, yang berarti mengantarkan hadiah, juga lahir kata wahuda al-‘urusa, yaitu memenuhi undangan mempelai dan kata watahadda, wastahda yaitu tuqoddimahu, sesuatu yang mendahului atau maju. Semua makna ini menunjuk pada sifat literasi secara khusus, yaitu Alquran, kitab yang maha agung dan peradaban.
Pertama, Alquran sebagai petunjuk; irsyada,ini meyangkut tuntunan bagi umat manusia yang terdiri dari aqidah, syariah dan tasawuf, bahkan sains dan humaniora. Dalam Alquran banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang tauhid, tentang keasaan Allah, juga lima rukun iman lainnya. Juga menjelaskan terkait syariat, seperti hukum mu’amalat, akad jual beli, riba, menikah dan lain sebagainya.
Terakhir petunjuk terhadap akhlak. Jika orang ditampar, maka hak baginya untuk membalasnya atau menampar-balik, tapi Alquran mengajari agar beraklak baik, dengan tidak membalas, tapi mendoakannya, sambil kita berintropeksi.
Kedua, Alquran, sebagai pengantar. Jika kita tersesat, maka ia lebih dari memberi tahu arahnya, tetapi juga akan mengantarkan seseorang itu sampai pada suatu tempat, tanpa lagi takut akan tersesat lagi, dan Ketiga, sebagai surat undangan.
Menurut para pakar, manusia sejatinya adalah penduduk surga, tetapi karena dosa yang dibuat ayah dan ibu moyang kita Nabi Adam dan Hawa, lalu mereka diturunkan ke bumi dan beranak-pinak. Maka dengan diturunkannya Alquran ini sebagai semacam surat undangan agar ingat bahwa rumah sebenarnya mereka adalah surga.
Terakhir, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani, ketika menafsirkan Wal-Qur’anil hakim (demi al-Qur’an yang bijaksana, (Q.S. Yasin, 2). Dipilihnya kata hakim, dengan bentuk isim fail (bijaksana) mempunyai metafor dan rahasia-rahasia; karena bijaksana adalah sifat mahluk hidup yang punya jiwa. Dengan demikian, apakah Alquran punya jiwa?
Jawabannya iya, lihatlah asy-Syura 52;
“Kami Turunkan Alquran dengan jiwa dari sisi Kami.”
Karena itu, jangan heran kalau susunan dan gaya bahasa Alquran sangat sempurna, juga makna dan kandungannya selalu menakjubkan? Jika Alquran menurut Imam Syafi’i dalam Majmu al-Ulum ada satu juta dua puluh tujuh ribu huruf, maka tiap huruf itu berjiwa.
Oleh karena itu saat orang sedang membaca Alquran, saat itu pula ada jamuan kerinduan, antara jiwa (mutma’inah) orang dengan jiwa-jiwa suci Alquran, dan pantaslah jika orang dibuat terpesona, khususnya jika itu di bulan Ramadan.
Wallahu’alam bishawab.
Sumber: