Kabar – Rindu – Lupa | Puisi
Oleh: Rofi’ah Mawaddah Al Husna
APA KABAR..??
Tak bolehkah aku bertanya!?
Pada rembulan yang redupkan sinarku, mengapa!?
Tak bolehkah aku bertanya!?
Pada angin yang sesuka hati memelukmu, mengapa!?
Hei, tak bolehkah aku bertanya!?
Pada laut juga ombak yang menyertainya?
Apa salahku?
Kau pergi mencari rembulan, saat di sini susah payah aku menjadi mentari.
Apa luputku?
Angin setiap saat membelai rambutmu, sedang aku, menyentuhmu saja tak mampu..
Hei, ombak menggandeng laut, ciptakan gelombang, hantarkan perahu ke seberang, lalu, apa kabar perahu kita?
Rindu Tau Jalan
Hujan menyapaku senja ini
Membawa sebungkus rindu yang masih baru
Dari siapa? Mungkinkah kamu?
Aku tak pernah meminta untuk merindumu
Lalu kenapa hujan ini membawa rindu?
Aku bisa melihatmu, berada di depanku
Bahkan dalam jarak yang sangat dekat
Tapi kita seperti tak saling kenal, suara yang mencekat
Gravitasi kita tak lagi menyatu seperti dulu
Menghilang bersama waktu
Petang semakin dekat
Siluet senja masih pekat
Rintik rindu masih menyengat
Kenangan tentangmu di ingatan berkelebat
Makin beragam
Dan aku masih mencoba meramu hujan
Tanpa menghiraukan kamu, sayang.
Rindu, tau jalan pulang kan?
LUPA
Di antara semua keindahan,
Aku memilih dia..
Namun di antara jutaan kata,
Aku memilih diam..
Maka aku di sini saja
Dan tak kemana-mana
Sementara roda waktu terus berputar
Menggilas nalar
Nan semakin liar
Aku hilang dalam pencarian diriku sendiri
Aku tertipu dengan apa yang kureka sendiri
Tubuhku bergetar melihat hantu,
Yang kuciptakan sendiri..
Sementara dia terus berjalan
Menyisakan gambar punggung yang,
Semakin lama semakin pudar..
Hah entahlah
Tapi bahkan pernah suatu ketika
Kala aku mencoba untuk melupakannya
Aku malah lupa
Bahwa aku ingin melupakannya
Oleh: Muhammad Rifki
Simbol
Seberapa banyak simbol-simbol tumbuh liar
Berakar di rumah pepatah tua
Lalu agama menciptakan tuhannya
Suatu hari diperanakan
Dari rahim interaksi buta
Saling bertanya ‘ini kemenakan siapa?’
Penyembah bayi dari tokoh dalam kepala
Bisa jadi sewaktu-waktu bayi itu durja
Ia mengaku bapak dari induk tuhan
Yang diciptakan penyembahnya
Sejak itu mereka tengah bicara
Siapa lagi yang jadi tuhan berikutnya
Atau sekedar simbol semata
Perpisahan itu Tak Pernah Ada;
Teruntuk dosen tercinta kami, Ibu Cahya Buana
Benarkah tumbang sudah mekar khabar dari induk mubtada
Sesiar kabar fail berpulang meninggalkan maf’ul
Atau malah kita lah melupakan pepata lama
Kenangan di secarik kertas terbenam
Maka anak mana tak tau diri
Melupa ibu yang mengasuhnya?
Terkenang remah-remah tawa di pucuk lelah
Senyummu mengembang meski hujan tak mengerti
Kemana memulangkan gerimis
Yang sempat cair di pelupuk mata
Kami adalah derit pintu yang berdenyut takut bilamana bersikejar salah
Adalah reranting rapuh yang sesedia kau pungut
Meski acapkali lelaku kami melukai
Reracau kata serupa langit retak
Oleh gemuruh-gemuruh
Semoga maaf masih sempat tersurat
Alangkah teduh senyummu
Adakah senyum yang lebih kami rindui selainmu?
Mawar itu Dirimu;
Teruntukmu yang tengah dirundung sedih,
Bilamana hari itu kau tiba di persimpangan
Kehilangan alamat untuk pulang
Orang-orang malah memberimu potongan luka
Kabar itu harusnya tak pernah tiba
Merundung lalu malam terasa sangat dingin
Harusnya sekali lagi tak ada yang memberimu luka berikutnya
Sakitnya bertumpuk menyesaki
Bersarang memenuhi kelopak matamu hingga perih
Mel, hentikan cair matamu!
Usai menciumi hari-hari penuh abu
Kulihat mekar tumbuh berkelopak merah
Ranum serta harum
Mawar itu adalah dirimu
Tumbuh di tengah tandus resah
Lantas, pelangi mana yang tak memperebutkanmu?
Si Bising
Siapa peduli gemerutuk abang tadi pagi
Mimpinya terusik setelah letus petasan pertama pecah
Di letusan kedua teriakan emak dari dalam rumah
Hei, dilarang mencuri bunyi darinya
Berisik itu tak sekedar beradu dengan cuping ilalang kota
Tak mengapa ramah tamah berbuah murka
Berdesir menangkap si bising siang-siang
Tadi ia buyarkan
Menganggu abang yang sempat mengolah gambut rawa menjadi bukit padi
Atau sebagai pengantin dalam lakon mimpi
Pemimpi-pemimpi saja
Setidaknya abang tentu lebih mengerti
Hidup tak sekedar menaiki gunung khayalan
Semata
Mei, 2019