Jangan Suka Membaca!
Oleh: Hasyim Asy’ari (Mahasiswa al-Azhar Fakultas Ushuluddin)
Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa membaca hanya akan menambah khazanah keilmuan seseorang. Tidak ada suatu peradaban atau bangsa maju yang tidak berangkat dari kesadaran umatnya akan betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah menjadi kekuatan besar bagi suatu bangsa. Dahulu, sekarang, hingga masa yang akan mendatang.
Oleh para pemikir, ulama’ dan cendekiawan, ilmu pegetahuan telah banyak diletakkan pada sebuah media yang bertujuan untuk lebih memudahkan generasi selanjutnya dalam menguak berbagai keilmuan. Seperti kitab, buku, koran, majalah, pdf, bahkan sosial media.
Namun, apakah kesemua ilmu pengetahuan yang telah dishare mereka secara cuma-cuma itu dapat menambah wawasan dan keilmuan seseorang, jika seseorang tersebut tidak mempunyai kesadaran membaca dan mengerti betapa pentingnya ilmu pengetahuan? Jawabannya sudah jelas. Al Quran telah berujar bahwa “Tidaklah sama antara orang yang mengerti dan orang yang tidak mengerti.”
Seseorang dinilai bukanlah karena materi atau jabatan yang ia miliki, namun karena dalamnya pengetahuan dan indahnya budi pekerti yang menghiasi.
Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), adalah seorang Founding Father yang benar-benar memberikan teladan bagi rakyatnya akan betapa vitalnya membaca bagi kehidupan dunia ini. Dalam bukunya, ‘Biografi Gus Dur’, Greg Berton telah menyebutkan bahwa sejak usia remaja, Gus Dur sudah mulai membaca karya-karya filsafat Plato, Aristoteles, Socrates dan sebagainya. Bahkan ketika di Kairo, menurut penuturan teman-teman sejawatnya, seperti Gus Mus, Gus Dur sering menghabiskan waktu luangnya di perpustkaan demi membaca berbagai buku dan kitab karya-karya ulama islam. Kegemarannya membaca ini hingga membuatnya kurang peduli dengan kondisi mata dan kesehatannya yang berangsur terganggu.
Namun tak ada usaha yang tak membuahkan hasil. Hingga pada suatu saat acara seminar di Simatupang yang di narasumberi oleh beliau dan dua orang temannya itu berlangsung, Gus Dur tertidur dengan pulasnya. Yang mengherankan, meski beliau tertidur, beliau dapat mengulas kembali pernyataan-pernyataan yang di sampaikan kedua temannya tersebut.
“ Ya, paling-paling mereka bicaranya seputar itu, karena saya tahu buku-buku yang mereka baca, kecuali dengan orang-orang yang baru saya temui”. Jawab Gus Dur dengan santai ketika ditanya seputar misteri tidurnya yang mendengkur oleh salah seorang wartawan Suara Merdeka.
Lalu, apakah tidak cukup seorang Gus Dur yang terkenal dengan ulama’ yang intelektual itu dijadikan sebagai contoh bagi pemuda generasi bangsa saat ini? Hanya yang ingin terbelakanglah yang akan mengikuti instruksi judul di atas.