Hay al-Asyir Dengan “Kapasitas” Harominya
Hay al-Asyir, Madinat Nasr adalah salah satu distrik di Kairo yang menjadi basis masyarakat Indonesia di Kairo. Di sini pula organisasi mahasiswa Indonesia berpusat. Ada organisasi kekeluargaan, organisasi kebudayaan dan lain sebagainya. Belum jelas asal muasal peradaban Indonesia kok bisa sampai di tempat ini. Entah dulu syaqqoh (Rumah) di sini biaya sewanya paling murah atau karena dulu di sini daerah pinggiran yang sepi, jadi mahasiswa pada ngebangun markasnya di sini. Ah entalah, yang pasti daerah berpasir ini adalah daerah Pinggiran Kairo yang diisi oleh imigran-imigran asing dari luar Mesir. Beraneka ragam kewarganegaraan pun warna kulit ada di sini. Yang paling sering dianggap sebagai tokoh antagonisnya sih, kalau melihat dari cerita indah di Hay al-Asyir adalah orang hitam. Namun, sebenarnya hal yang horror di sini bukan dari kulit hitam tapi dari hati yang hitam. Eak. Astagfirullahal ‘adzim. Hiks.
Panjang juga nih basa-basi. Jadi intinya gini, Gaes. Saya adalah satu di antara Masisir yang pernah merasakan pertemuan indah dengan haromi-haromi Hay al-Asyir. Dua kali pertemuan dengan mereka cukup membuat saya menjadi pria separuh tokek congek. Bukan kenapa, bertemu dengan haromi itu gak enak blas. Siapa juga yang bilang enak? Nah, tanggal 1 Mei kemarin nih, tepat selasa malam di depan Ronin Mutsalllats, saat itu saya ingin bertandang ke Darrosah. Karena sudah sekitaran jam 8 malam, 80 coret lagi sepi-sepinya. Biasanya sih kalau malam memang datangnya setengah jam sekali. Mungkin saat itu 80 coret baru aja lewat, sehingga membuat diri ini musti menunggu. Menunggu oh menunggu. Kalau kata Zivilia mengunggu tuh sesuatu yang menyebalkan, malam itu menunggu bagi saya sesuatu yang menghilangkan. Menghilangkan hape gua. Hiks.
Kejadiannya terjadi selang 10 menit menunggu bus merah andalan. Saat itu dari arah kanan saya, ada seorang Mishriy berdiri dengan jaket hitam plus gaya warga pada umumnya, menegur “Bro, coba lihat celana kamu. Kok kotor?” Ditegur seperti itu, saya pun reflek menoleh. Dan benar saja, di celana saya ada percikan cairan gitu. Awalnya saya kira itu ee’ dog-dog Mesir, tapi setelah tak colek ternyata eh ternyata itu percikan coklat. Huft untung saja bukan ee’. Karena penasaran, saya mencari bekas coklat di sekitar tempat saya berdiri. Siapa tahu saja tadi kena injak lalu terdistribusi tanpa sengaja ke celana saya. Setelah mencari sekitar 5 detik, ternyata tidak ada sama sekali, Gaes. Aneh. Belum sempat diri ini merenungkan keanehan coklat yang bisa-bisanya tiba-tiba nyamplok ke celana, orang Mesir tadi kembali menyapa “ini tisu, bersihkan celanamu” Dengan kebaikan hatinya ia mengulurkan tisu guna menghapus kotoran yang berada di celana bagian belakang lutut saya. Bagian belakang lutut? Ah sudahlah pokoknya di belakang gitu. Karena posisinya di belakang, otomatis saat membersihkan pun musti memutar badan 120 derajat. Dengan nolah-noleh seperti itu ditambah kotoran hitam di gelap malam, agak sulit memang membersihkan noda membandel dengan tisu (soalnya sudah biasa pakai rinso. Eh). Melihat hal itu, Ammu yang memberikan tisu tadi, tidak lagi berdiri di tempat awal saya melihatnya. Dia berada di samping saya, berlawan dengan arah saya menoleh. Dia persis berdiri di samping kiri saya. Bertatapan langsung dengan kantong tempat hape saya sedang beristirahat. Mau apakah dia di sana? Ternyata ia ingin menawarkan bantuan ikut membersihkan noda-noda membandel. Dengan gaya sok gak mau dibantu saya berucap “sudah ammu ndak papa ini bisa sendiri kok”. Namun, Ammu tetap baik hati ngotot membantu Akhirnya, kami saling membersihkan celana dengan romantis. Saya sebelah kanan dan dia di sebelah kiri. Dalam hati pun berkata “oh my God. Ternyata orang Mesir itu baik-baik”. Akhirnya, setelah lumayan bersih (soalnya coklat gak bisa dibersihkan dengan tisu.\) sang ammu yang baik hati itu pergi membawa kalimat toyyibah dari saya. “syukron ya Ammu. Jazakallahu Khoir. Robbuna yukhollik”. Ah saya seakan terhipnotis dengan kebaikannya. Selamat jalan ammu.
Kembali menunggu bus, selang 15 detik sejak kepergiannya menunggu bus kok serasa berbeda. Saya pun melakukan “periksa perlengkapan”. Dari atas sampai ke bawah. Seperti ada yang hilang. Saya coba cek satu-satu, Qur’an ada, tasbih ada, tisu yang tadi juga masih ada, hape… hape? mmm hape di mana yah? Masa iya ada di tas? Tadi perasaan tersimpan rapi di saku celana kok gak ada yah. Oh my God hapeku ternyata sudah tidak ada. Saya mencari orang Mesir lainnya, meminta tolong supaya hape saya diIcall. Tapi sudah tidak aktif.
Rupanya, Ammu yang tadi membantuku menghilangkan noda tidak benar-benar menghilangkan noda di hatinya. Yang aku kira seakan menghipnotis, benar-benar menghipnotisku. Selamat jalan Ammu se**n. pengen rasanya bicara kotor tapi takut dosa.
***
Tidak sampai di situ saja. Setelah melewati Ramadhan yang indah. Saat di mana Orang-orang Mesir menjadi malaikat tak bersayap. Tepatnya pada pekan pertama bulan Syawal, saya kembali bertemu dengan haromi yang asik. Kok asik? Soalnya kali ini bukan dengan mishriy tapi dengan man in black. Bukan dengan satu orang melainkan dengan lima orang sekaligus. Mungkin pepatah yang mengatakan “tak ada perpisahan yang abadi” ada benarnya.
Jadi cerita keduanya gini, Gaes. Masih sama dengan tujuan sebelumnya bertamu ke Darrosah, tapi kali ini pagi hari jam 6. Karena saya nyetat dari IKBAL (Iktan Keluarga Besar Al-Amien Prenduan) di pedalaman Mutsallatas, maka ke jalan raya enaknya lewat mutsallats yang berhadapan langsung dengan Ronin. Yah lagi-lagi Ronin. Singkat cerita pagi itu saya berada di mutsallats sebelum menyeberang ke depan Ronin. Tapi karena masih jam 6 bus 80 coret belum ada ditambah sosok saya yang “wifi hunter”. Maka saya berdiri di depan bengkel sambil lalu masuk ke wifi warung makan Indo Samawa. Ya maklum hemat paket, kan mahasiswa.
Nah, selang tiga menit main wifi. (Wifi kok dimainin?) dari arah yang tak disangka-sangkat. Eh maksudnya, dari arah belakang (Mutsallats) muncul sosok hitam secara bergerombolan. Dengan gaya punk jaman 2000an dan rambut pirang, mereka tampak seperti pisang coklat bertabur warna warni meces ceres. Haduh semoga tidak dianggap rasis yah. Lanjut, setelah sampai di bibir jalan raya, mereka terhenti sambil lalu sedikit-sedikit memperlihatkan lagak orang mau menyeberang jalan. Dalam hati pun berkata “kayaknya mereka haromi deh”. Tapi pada saat itu masih sekadar menduga saja, yah kira-kira 50 persenanlah. Tapi kok lama-kelamaan mereka gak nyeberang-nyeberang juga. Malah, mulai mepet ke arah saya. Sebagai lelaki yang pernah kehilangan “kehormatannya” oleh haromi pasti akan lebih peka. Dalam hati kembali berkata “wah ini nih 75 persen yakin haromi”. Dengan gaya mencari-cari bis saya melayangkan pandang ke arah kanan, arah Suq Madrosah mencoba ngesummon bis merah .“80 coret, Plis datanglah” dalam hati. Namun karena tak kunjung tiba, akhirnya memaksa saya untuk gercep mencari plan B. (Eak biar kayak misi di pilem-pilem)
Di saat kondisi seperti ini saya tahu keberadaan orang Mesir guna menjadi tameng sangat dibutuhkan. Akhirnya, saya menoleh ke kanan. Gak ada orang Mesir. Menoleh ke kiri adanya penjual tokmiyah. Walau begitu itulah pilihan terakhir saya harus mundur ke kiri. Dapat tiga langkah ke kiri saya tak sadar kalau sudah berada di tengah orang hitam. Oh my God. “Semoga bukan haromi”, berkata dalam hati, mencoba merubah kenyataan. Saat itu juga seseorang yang paling tinggi tapi kurus maju bertanya kepada saya. “Dil wa’ti sa’ah kam?” Bumm… tahukan anda apa artinya ini? itu adalah semacam perkenalan. Dia sedang ngomong kalau saya ini haromi. Yang benar saja. pertanyaan macam apa itu? Sekarang jam berapa? What the… Sedang di tangannya sendiri melekat erat jam tangan putih standar bapak-bapak. Sontak saya berjalan cepat sambil berkata dan menunjuk jam tangannya “musy arif. ‘Anduku sa’ah” (saya gak tahu. Kamu punya jam tuh). Dapat 10 meter dari mereka saya menoleh ke belakang. Rupanya salah satu diantara mereka sedang berlari menuju saya. Dengan kecepatan ala tuk-tuk dia seperti ingin menerkam saya. Reflek sebagai orang yang berpengalaman dalam keharomian saya juga ikut berlari menjauh. Dengan kecepatan lari yang pernah saya pakai ketika lomba lari ngejar layangan dahulu. Saya berlari sekuat tenanga tanpa menoleh sedikit pun. Dan huft Alhamdulillah sampailah saya di penjual tokmiyah. Saya menoleh ke belakang, alhamdulillah mereka sepertinya sedang cek cok mulut. Bye bye haromi. Dengan emosi saya mengangkat kedua tangan saya kea rah mereka sambil menjulurkan lidah dan memberikan salam jari tengah. Nah, kalau ini gak boleh dicontoh yah, Gaes.
Terakhir. Saya bersedih karena gagal mengaplikasikan falsafah cimande yang kami pelajari dulu. Musuh tak dicari ketemu tidak lari. Tapi apalah daya jiwa pendekar tak kunjung datang seperti 80 coret. Hiks. Namun begitu, kejadian seperti tadi menuntut kita untuk mengutamakan keselamatan jiwa. Terimakasih. Semoga kelak teman-teman dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan hape. Karena kedua kejadian di atas berawal dari bermain hape di tempat umum. Yah bisa dibilang hal itu adalah cacing yang sengaja dilempar tuk memancing ikan. Wa ismuhu haromi.
(Ahsan)