Bolehkah Mengikuti Qawl Qadimnya Imam Syafi’i Mengenai Sahnya Shalat Jum’at Hanya Dengan Empat Orang?
Oleh: Muhammad Yusuf Syuhada
(Mahasiswa Jurusan Syariah Islamiyah Fakultas Syariah wa al-Qanun Universitas Al-Azhar)
Ada sebuah buku menarik dalam Mazhab Syafi’i yang berjudul, Risâlah bi Jawâz al-‘Amal bi al-Qawl al-Qadîm li al-Imâm asy-Syâfi’i Ra. fi Shihhat al-Jum’ah bi Arba’ah, yakni Risalah Mengenai Bolehnya Mengikuti Qawl Qadimnya Imam Syafi’i Ra. tentang Sahnya Salat Jum’at hanya Dengan Empat Orang.
Buku tersebut ditulis oleh Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi atau yang dikenal dengan Sayyid Bakri, yaitu penulis buku I’anah ath-Thalibin.
Sebagaimana judulnya, buku kecil ini menjelaskan tentang bolehnya seseorang mengikuti pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya yang mengatakan bahwa, shalat Jum’at itu sah dilaksanakan meskipun hanya oleh empat orang saja.
Karena bertepatan dengan hari Jum’at, saya kira menarik sekali untuk membicarakan beberapa pembahasan yang ada di dalam buku ini.
Ragam pendapat imam Syafi’i mengenai bilangan shalat Jum’at:
Imam Syafi’i dalam qawl jadidnya-yakni pendapat imam Syafi’i sewaktu tinggal di Mesir-mengatakan bahwa shalat Jum’at hanya sah apabila minimal dilaksanakan oleh empat puluh orang mukallaf, merdeka, dan berstatus sebagai mustawthin atau pribumi. Pendapat ini berpegangan kepada hadist yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud yang berbunyi;
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ تَرَحَّمَ لِأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ، فَقُلْتُ لَهُ: إِذَا سَمِعْتَ النِّدَاءَ تَرَحَّمْتَ لِأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ، قَالَ: ” لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ، يُقَالُ لَهُ: نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ “، قُلْتُ: كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ، قَالَ: «أَرْبَعُونَ»
“Dari Ka’b bin Malik (sahabat Nabi) bahwasannya dia setiap kali mendengar adzan Jum’at berkata: ‘semoga Allah merahmati As’ad bin Zurarah (sahabat Nabi)’, ia pun ditanya oleh anaknya yang bernama Abdurrahman bin Ka’b bin Malik mengenai alasannya melakukan hal tersebut, lalu ia menjawab: ‘karena As’ad bin Zurarah adalah orang pertama yang melaksanakan shalat Jum’at bersama kami di Hazm Nabit (nama tempat) dari kampung Harrah suku Bani Bayadhah’, kemudian anaknya bertanya: ‘berapa bilangan kalian ketika itu’, ia pun menjawab: ‘empat puluh’.”(HR. Abu Dawud: 1069).
Seluruh ulama telah sepakat (baca; ijma’) bahwa dalam shalat Jum’at itu harus mencapai bilangan tertentu yang harus dipenuhi. Tidak sah hukumnya melaksanakan salat Jumat kecuali dengan bilangan yang diketahui dari petunjuk syariat. Bilangan yang diketahui dari syariat itu adalah 40 orang, maka tidak diperbolehkan melaksanakan salat Jum’at kurang dari 40 orang kecuali berdasarkan dalil yang tegas, sedangkan tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan kurang dari 40 (an-Nawawi: al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hlm. 504), pendapat inilah yang menjadi pegangan dalam madzhab Syafi’i.
Akan tetapi dalam qawl qadimnya (pendapat imam Syafi’i sewaktu di Baghdad), ada dua pendapat yang berbeda:
1. Menyangkut sahnya shalat Jum’at hanya dengan empat orang termasuk imam.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Abul Abbas bin al-Qash dalam at-Talkhish, yang dipilih oleh al-Muzanni (murid imam Syafi’i) sebagaimana dinukil oleh al-Adzra’i dalam Qut al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, dan diunggulkan oleh Ibnu Mundzir sebagaimana dinukil oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’, dan juga oleh as-Suyuthi.
Selain dari kalangan Syafi’iyah, turut juga memilihnya; Abu Hanifah, ats-Tsauri, Layts bin Sa’d, al-Awza’i dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
Pendapat ini berpegangan kepada hadist Rasulullah saw. yang mengatakan:
الْجُمُعَةُ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ قَرْيَةٍ , وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهَا إِلَّا أَرْبَعَة
“Shalat Jum’at itu wajib di setiap kampung meskipun jumlah mereka hanya empat orang”(HR. Darquthni: 1592)
2. Mengenai sahnya shalat Jum’at dengan 12 orang termasuk imam.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Rabi’ah dari al-Mutawalli dan al-Mawardi yang meriwayatkannya dari az-Zuhri, serta dipilih oleh an-Nawawi dalam buku al-Majmu’ dan Syarh Shahih Muslim.
Pendapat ini berpegangan kepada hadist yang berbunyi:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنَ الشَّامِ، فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا، حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا، فَأُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ الَّتِي فِي الْجُمُعَةِ: {وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا} [الجمعة: 11]
“Bahwa Rasulullah suatu ketika sedang berkhuthbah di hari Jum’at. Kemudian datanglah rombongan dagang dari Syam, lantas orang-orang pergi mendatanginya sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang. Maka turunlah ayat: ‘dan apabila mereka melihat perdagangan merekapun mendatanginya dan meninggalkanmu berdiri (QS. al-Jumu’ah: 11)’.”(HR. Muslim: 863)
Buku kecil ini menjawab beberapa pertanyaan penting, di antaranya:
Dalam masalah ini, bolehkah kita mengikuti pendapat yang bukan merupakan pegangan madzhab?
Syekh Sirajuddin al-Bulqini (sebagaimana dijelaskan dalam risalah ini) pernah ditanya tentang penduduk kampung yang jumlahnya tidak mencapai empat puluh orang. Apakah mereka shalat Jum’at atau salat Dhuhur? Kemudian ia menjawab:
يصلون الظهر على مذهب الشافعي وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلوا الجمعة وهو قوي، فإذا قلدوا جميعهم من قال هذه المقالة فإنهم يصلون الجمعة. وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم الظهر كان حسنا
“Mereka salat Duhur berdasarkan madzhab Syafi’i. Akan tetapi sekelompok ulama memperbolehkan mereka shalat Jum’at (dalam keadaan kurang dari 40 orang), dan itu adalah pendapat yang kuat. Dan apabila mereka seluruhnya mengikuti pendapat ini, maka mereka boleh shalat Jum’at. Dan apabila mereka berhati-hati dengan cara melaksanakan shalat Jum’at lalu kemudian salat Dzuhur, maka itu baik.”(Risalah Sayyid Bakri, hlm. 5)
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, boleh saja kita mengikuti pendapat yang bukan pegangan madzhab dengan niat mengikuti ulama yang mengunggulkan pendapat tersebut. Dan disunnahkan setelahnya shalat Dzuhur sebagai bentuk kehati-hatian sebagaimana dijelaskan oleh syekh Sirajuddin al-Bulqini.
Apabila terjadi kontradiksi antara qawl qadim dan jadid, bukankah kita harus mengambil qawl jadid?
Memang benar, ulama Syafi’iyyah menyebutkan apabila terdapat kontradiksi dalam sebuah permasalahan antara qawl qadim dan jadid (sesama pendapat imam Syafi’i), maka yang diambil adalah qawl jadid dan tidak boleh mengamalkan qawl qadim (Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf: al-Fawaid al-Makkiyyah, 157).
Akan tetapi itu apabila qawl qadim tersebut tidak diunggulkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah lain. Sedangkan apabila ada ulama Syafi’iyyah (baca; Ashhab al-Wujuh) yang mengunggulkan pendapat tersebut dan memilihnya, maka pendapat tersebut boleh diamalkan meskipun tidak dinisbatkan kepada imam Syafi’i. Hal ini dikarenakan semua mujtahid boleh diikuti oleh kita sebagai orang awam.
Ketika kita mendapati permasalahan yang dirasa sulit pengamalannya dalam pendapat yang menjadi pegangan madzhab Syafi’i, apakah dalam hal ini kita lebih baik mengikuti pendapat madzhab lain atau tetap mengikuti pendapat yang bukan pegangan madzhab, namun masih dalam madzhab Syafi’i?
Lebih baik mengikuti pendapat yang bukan pegangan dalam madzhab (baca; marjuh) dibandingkan mengikuti pendapat madzhab lain, karena mengikuti pendapat madzhab lain–dalam permasalahan bilangan Jum’at misalkan–menuntut kita untuk berwudhu, mandi, serta shalat sesuai dengan ketentuan madzhab lain yang kita ikuti itu (agar tidak terjadi pencampuradukkan madzhab yang dilarang ulama), dan itu sangat sulit bagi seorang awam.
Demikian beberapa pembahasan menyegarkan dalam buku ini, hal penting yang perlu diketahui bahwa kita sebagai orang awam yang berstatus muqallid tugas kita hanyalah mengikuti ulama, dan setiap pendapat itu boleh diikuti selama dia adalah seorang mujtahid, yaitu orang yang sudah menguasai semua perangkat penunjang untuk menyimpulkan hukum langsung dari sumber inti ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadist.
Maka dari itu kita tidak boleh menyalahkan orang lain apabila dia mengikuti seorang mujtahid dalam madzhab Syafi’i maupun madzhab lain. Karena ketika kita melihat orang lain berbuat salah menurut pengetahuan kita, kita tidak bisa langsung menyalahkannya, karena boleh jadi dia mengikuti pendapat lain.
Dari sini kita sadar bahwa orang awam seperti kita, terlebih mereka yang setiap hari tidak banyak bergumul dengan perbedaan pendapat dalam agama, tidak selayaknya berkomentar dalam urusan agama apalagi sampai menyalahkan orang lain. Karena yang memahami ragam pendapat adalah mereka yang tekun dalam mempelajari agama. Wallahu a’lam
baca juga: Antara Nalar Fikih, Medis dan Akidah