Beragama Sebatas Tampilan
Beragama Sebatas Tampilan
Oleh: Mufied Haris Masngudi, MA.
(Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Tarbiyah di Kuliah Dirasat al-Ulya Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)
Di sebuah majelis Umar bin al-Khattab bertanya kepada hadirin tentang seorang yang mendapat pujian dan belum ia kenal. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata, “Saya kenal dia, Wahai Amirul Mukminin”.
“Apakah engkau tetangganya? Karena biasanya seorang akan mengenal dengan baik karakter tetangganya,” Kata Umar Ra.
“Bukan, wahai Amirul Mukminin.” Jawab lelaki itu.
“Apakah engkau pernah menemaninya dalam sebuah perjalanan? Karena sifat asli seseorang bisa dinilai ketika ia melakukan perjalanan,” Tanya Umar Ra kembali.
“Belum pernah, wahai Amiral Mukminin,” Jawab lelaki itu.
“Atau engkau adalah orang yang pernah berjualbeli dengannya dan berurusan masalah uang? Karena uang terkadang juga mampu menyingkap karakter seseorang.”
“Belum juga,” Jawab lelaki itu kembali.
“Atau engkau pernah melihatnya rukuk dan sujud di masjid? Lanjut Umar.
“Kalau yang ini benar, Wahai Amiral Mukminin.
“Jika begitu duduklah kembali, sesungguhnya engkau belum benar-benar mengenalnya.”
Petikan dialog Umar Ra tersebut seakan menggambarkan kondisi umat hari ini. Umar seakan menyadari bahwa seseorang bisa saja menanggalkan agamanya selepas ia keluar dari masjid lalu demi mengejar dunia ia menghalalkan segala cara.
Tidak sedikit orang yang melaksanakan salat sekadar menjalankan rutinitas namun tidak mampu mencegahnya dari kedengkian dan kebencian.
Umar bin Al-Khattab juga seperti menyadari bahwa panjangnya jenggot bisa jadi adalah cara seorang pencuri mengelabui mangsanya.
Sebagaimana siwak bisa saja membersihkan dan memutihkan gigi namun tak mampu menghalangi orang untuk memakan makanan haram dan mencaci saudaranya.
Atau seperti orang yang berbondong-bondong melaksanakan ibadah haji. Namun tidak ada yang bisa dirasa kecuali status sosial di masyarakat yang mengalami perubahan.
Nilai beragama yang sesungguhnya akan berdampak pada cara kita berinteraksi dengan orang lain. Maka jika di sekitar kita sulit mendapati penjual yang jujur, pemimpin yang amanah, perempuan yang menjaga kehormatan, itu tandanya nilai-nilai agama masih jauh dari keharusan.
Bukti beragama yang baik akan tercermin pada baiknya akhlak seperti mereka yang komitmen pada kejujuran, ringan tangan bagi mereka yang berkesusahan dan teguh menjaga lisan dan perbuatan.
Maka menjadi musibah bagi kita jika nilai berhaji seseorang hanya berbekas pada kiloan kurma dan literan zamzam, ditambah dengan sebungkus sajadah yang didatangkan dari negri cina.
Sebagaimana musibah bagi kita andai salat yang kita kerjakan hanya bermanfaat bagi otot dan persendian, namun tidak berefek pada hati dan pikiran.
Tampilan dalam beragama itu penting. Bukti kebanggaan dan kesungguhan. Namun lebih penting adalah subtansi dan efek dari beragama itu sendiri.
~Mufied Masngudi~
Maka agama yang dahulu telah mengubah seorang penggembala kambing menjadi seorang pemimpin negara, tidak pernah berubah bentuknya. Namun agama itulah yang mengubah karakter dan sifat bagi para pemeluknya. Itulah inti beragama.
Abu jahal dahulu memakai sorban yang dipakai oleh Abu Bakar Asshiddiq. Bahkan jenggot Umayyah bin Khalaf sepanjang jenggot Ibnu Mas’ud Ra. Pedang yang dipakai oleh Utbah bin Rabi’ah terbuat dari besi yang sama dengan pedang yang dipakai oleh Kholid bin Walid.
Tampilan bolehlah mirip namun substansilah yang utama. Bentuk bolehlah sama namun isi haruslah berbeda. Dan itulah makna beragama.