Agama atau Duniawi?
“Jadi, menurutmu jual-beli itu masalah agama atau dunia?” Sebuah pertanyaan unik membuka ruang diskusi lebih dalam. Aku tersenyum, menarik.
“Dunia?” Tebakku.
“Tapi kenapa di Al-Qur’an bahas jual-beli? Atau misal yang lain nih, kayak masalah-masalah nikah, cerai, dan hak asuh, dll. itu masalah agama atau dunia sih?”
“Hoo, ke situ arahnya.. “ Aku mengangguk, tersenyum.
Dari pertanyaan itu aku menyadari bahwa pertanyaan itu dilontarkan oleh seseorang yang belum memahami bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari urusan dunia. Karena dalam agama Islam, semua urusan dunia sudah diatur sedemikian rupa.
Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Agama Islam mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dari mulai batuk, salam, sampai permasalahan pemerintahan (hudud dan jinayat). Apa pun masalahmu, Islam punya solusinya.
Itulah mengapa, pembahasan fiqh sangat luas, tidak sebatas bab ibadah dan adab, tapi juga mencakup bab muamalah, nikah, dan hudud. Saking luasnya, fiqh tidak akan berhenti dipelajari sampai kiamat. Hal ini dikarenakan objek pembahasannya adalah af’alul ibad, alias seluruh perbuatan manusia. Ada sebuah kaidah yang menyebutkan:
الأصل في أفعال العباد التقيد بحكم الشرعي
“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara’”
Kaidah tersebut seolah mengatakan bahwa, kita tidak bisa memisahkan antara urusan duniawi dengan hukum syar’i (agama). Sehingga ketika seseorang menjadikan kaidah tersebut sebagai asas hidupnya, tentu dia akan menjadi seorang muslim produktif dan alim.
Contohlah ketika si A ingin makan, dia akan berpikir tentang hukumnya. Apa hukum makan saat ini? Apakah makanan ini halal? Apakah makanan ini tayib? Apakah dia bisa mendapatkan pahala saat makan, atau justru sebaliknya?
Ribet? Tentu saja. Tapi jangan salah, justru ketika seseorang mampu berpikir kritis seperti tadi, dia bisa mendapatkan pahala lebih banyak daripada orang yang asal makan dan ga kritis. Lah, maksudnya gimana si?
Bayangkan si A tadi tidak jadi makan karena ternyata di dalam makanannya terdapat babi, ia akan mendapatkan pahala karena telah menjauhi larangan Allah.
Atau ketika makanannya sudah halal dan tayib, ia niatkan aktivitas tersebut agar kuat ketika beribadah. Maka dia akan dapat pahala.
Sederhana memang, tapi ngga semua orang bisa.
Akan berbeda ketika si B yang makan tanpa melakukan proses berpikir kritis. Ia tidak mendapatkan pahala atau dosa. Karena hukum asal makan adalah mubah.
Atau contoh lain, ketika seseorang menyikat gigi di pagi hari. Apakah dia dapat pahala sunah? Belum tentu, semua tergantung niatnya. Kalau dia menyikat gigi karena rutinitas belaka, tentu tidak. Tapi, kalau dia berniat untuk mengamalkan sunah Rasul, pahalanya akan mengalir setiap dia menyikat giginya.
Contoh lain ketika seorang wanita memakai kerudung. Dia baru mendapatkan pahala ketika niatnya menutup aurat dan melaksanakan ketaatan pada Allah. Berbeda dengan wanita yang pakai kerudung hanya ikut trend atau hal lain. Kira-kira, berapa banyak pahala orang yang berhijab karena Allah jika setiap langkahnya akan dihitung kebaikan terus menerus?
Bahkan dalam lingkup yang lebih besar lagi, seperti hukum pidana dan bernegara, Islam memiliki aturan tersendiri. Bagaimana Islam menghukum pencuri yang kelaparan, bagaimana negara Islam menjamin pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya, bagaimana negara Islam mengolah tambang dan kekayaan alam untuk keperluan rakyat, dan masih banyak lagi peran Islam dalam kehidupan manusia.
Maka, seharusnya kehidupan seorang muslim adalah kehidupan yang amat sangat menyenangkan. Karena setiap perbuatannya akan menghasilkan kebaikan dan pahala. Aturan Islam juga tidak akan menghasilkan kegagalan dan keterpurukan bagi yang melaksanakannya secara utuh dan paripurna.
Justru ketika Islam diterapkan sebagian saja, maka akan menjadi bumerang bagi kaum muslimin itu sendiri. Islam akan menjadi pincang dan menjadi titik kelemahan yang selalu diungkit-ungkit Barat. Dari sinilah sumber terciptanya ‘islamophobia’ yang marak terjadi.
Contohlah jika ada sebuah negara yang menggunakan hukuman rajam bagi pezina, sementara negara tersebut masih membiarkan situs-situs porno bertebaran, mempersulit warga yang ingin menikah, dan tidak mewajibkan warganya untuk menutup aurat. Tentu hal ini akan mustahil terjadi.
Maka sudah menjadi tugas dan kewajiban kita bersama untuk berusaha menerapkan Islam secara utuh dan paripurna sembari terus memupuk kebaikan-kebaikan kecil dalam aktivitas kita. Semoga semua amal kebaikan yang kita lakukan dan usaha untuk menegakkan aturan Islam secara sempurna bisa menjadi pemberat timbangan kita di yaumil hisab nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
لا تحقرن من المعروف شيئا
“Jangan remehkan sebuah kebaikan sedikit pun”
Penulis: Shofia Rosyida