TALFIQ ANTAR MADZHAB
Contoh talfiq antar madzhab misalnya adalah seorang yang berwudhu yang kemudian menyentuh wanita ajnabiyyah secara langsung, tanpa penghalang, dan di waktu yang sama keluar najis, misalnya darah, dari tubuhnya selain dari qubul dan dubur.
Menurut Syafi’iyyah, menyentuh wanita ajnabiyyah tanpa penghalang membatalkan wudhu, sedangkan menurut Hanafiyyah tidak batal. Sebaliknya, keluar najis dari selain qubul-dubur membatalkan wudhu menurut Hanafiyyah, dan tidak batal menurut Syafi’iyyah.
Jika seseorang shalat dengan wudhu seperti kasus di atas (menyentuh wanita ajnabiyyah tanpa penghalang, sekaligus keluar najis dari tubuhnya selain dari qubul-dubur), maka ia telah melakukan talfiq antar madzhab. Shalat seperti ini batal menurut Syafi’iyyah karena ia telah menyentuh wanita ajnabiyyah tanpa penghalang. Shalat ini juga batal menurut Hanafiyyah karena dari tubuhnya keluar najis dari selain dua jalan. Dan pelaku talfiq menganggapnya tidak batal, dengan menggabungkan dua madzhab tersebut dalam praktik wudhunya.
Bolehkah praktik seperti ini? Dalam ad-Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa hukum yang berasal dari talfiq batil berdasarkan ijma’. Jadi, talfiq antar madzhab terlarang, dan amal yang dilakukan berdasarkan talfiq, batal hukumnya.
Pernyataan seperti ini dibantah oleh az-Zuhaili. Menurut beliau talfiq hukumnya boleh -dengan beberapa ketentuan-. Menurut beliau diin Allah itu mudah, tidak susah, dan kebolehan talfiq adalah bentuk dari kemudahan tersebut. Ia memudahkan manusia dan menghindarkan mereka dari kesulitan dan kesempitan.
Az-Zuhaili juga menyatakan bahwa bertaqlid pada satu madzhab tertentu dalam seluruh perkara tidak wajib hukumnya, dan karena hal ini tidak wajib, maka talfiq antar madzhab boleh hukumnya. Beliau juga mengkritisi sebagian kalangan Hanafiyah yang menyatakan adanya ijma’ atas keharaman talfiq antar madzhab ini, karena dasar penukilan ijma’ ini samar adanya.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, setelah menyatakan keharaman talfiq, ditegaskan bahwa praktik mengamalkan pendapat lebih dari satu madzhab ini disebut talfiq jika ia dalam satu perkara atau satu persoalan, seperti contoh yang disebutkan di atas. Adapun pada perkara yang berbeda, ia tidak disebut sebagai talfiq, misalnya mengikuti asy-Syafi’i dalam bab shalat, dan mengikuti Abu Hanifah dalam jual beli.
Boleh kita simpulkan, fuqaha tidak satu suara atas keharaman talfiq antar madzhab ini. Ada yang mengharamkan, bahkan menyatakan adanya ijma’ atas keharamannya, ada juga yang membolehkan.
Namun, dari sedikit penelusuran atas hal ini, saya cenderung menyatakan bahwa para muqallid sebaiknya menghindari praktik talfiq antar madzhab ini, selama hal tersebut memungkinkan, karena itu lebih selamat dari terjerumus pada praktik tatabbu’ ar-rukhash (mencari yang ringan-ringan saja dari pendapat madzhab) secara sengaja tanpa ‘udzur (dan mengesankan peremehan terhadap taklif Syari’ah), yang itu bahkan terlarang menurut az-Zuhaili. Dan jika ada kondisi tertentu yang memaksa seorang muqallid untuk tidak bisa konsisten dengan pendapat madzhab yang dianutnya, di sinilah talfiq antar madzhab bisa menjadi solusi.
Wallahu a’lam bish shawab.
Rujukan:
1. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, pembahasan at-Talfiq Baynal Madzahib, Juz 13, Hal. 293-294.
2. Ushul al-Fiqh al-Islami, pembahasan at-Talfiq wa Tatabbu’ ar-Rukhash, Juz 2, Hal. 1142-1155.
3. ad-Durr al-Mukhtar wa Hasyiyah Ibn ‘Abidin, Juz 1, Hal. 75.