Problematika Talaqqi di Kalangan Penuntut Ilmu
Wahai para penuntut ilmu, ketika Anda benar-benar paham dan mengerti apa itu talaqqi, secara tidak langsung ia akan mengubah Anda dari yang kosong menjadi lebih terisi, dalam garis bawah; tidak akan pernah penuh, karena ilmu tak ada batasnya. Dari talaqqi, Anda mampu memahami dan menggali wawasan dan pengetahuan yang begitu luas dari berbagai guru yang Anda teladani. Dalam artian, harus sesuai dengan porsinya masing-masing.
Timbul sebuah pertanyaan, ada permasalahan apa di talaqqi? Insya Allah talaqqi selalu aman dan sehat sentosa. Mungkin yang harus dipertanyakan adalah; ada apa dengan pelajar sekarang ini?
Wahai para penuntut ilmu Al-Azhar yang selalu dirahmati Allah, adanya talaqqi di Al-Azhar itu sejak zaman dimana gerbang Jami’ Al-Azhar itu belum berbentuk besi. Sejak zamannya Ibnu Hajar, Imam Al-Bajuri, Syekh Al-Athar, dan para ulama’ lainnya masih bergelut dengan dunia keilmuan. Talaqqi itu sudah hidup dan berjalan begitu khidmat. Bahkan sejak dari dulu pun pengajian-pengajian yang berpaling dari kebenaran itu sudah berbibit, hingga akhirnya meluas.
Dulu, setiap pelajar selalu berusaha dan giat untuk mencari seorang guru yang tepat, itupun penuh perjuangan, dan itulah jihadnya para pecinta ilmu terdahulu yang kini semakin terkikis.
Apa permasalahannya?
Permasalahannya, dimana seorang penuntut ilmu terlalu gampang kaget dan kurangnya rasa jihad untuk mencari kebenaran. Pasalnya, mereka hanya ingin mencari yang instan, mencari yang pasti dan mudah didapat. Ibarat kata hidangan makanan yang disediakan secara langsung tanpa mereka cari tahu dulu bagaimana, kenapa, dan apa cara atau proses adanya hidangan makanan tersebut.
Mereka pun melahapnya, tanpa mereka sadari kalau itu ada racunnya. Mental micin! Iya, yang seperti itu bisa dikatakan mental micin. Kata Maulana Syekh Ali Jum’ah, “Permasalahan penuntut ilmu era ini; dimana mereka hanya mencari ilmu secara instan.”
Kala itu, majelis talaqqi di Al-Azhar sempat mati suri, direalisasikan kembali nilai-nilainya oleh Maulana Syekh Ali Jum’ah hafidzohullah yang tersusun secara sistematis; dari jadwal tetap dan tempat-tempatnya.
Dulu, beberapa senior masisir yang berjuang di Al-Azhar begitu susah mencari talaqqi. Mereka harus bertanya-tanya dan berjuang terlebih dahulu untuk mencari ilmu.
Ironisnya, di masa kini, dimana talaqqi sudah difasilitasi secara rapi, pun disediakannya tempat-tempat tambahan di luar Jami’ Al-Azhar yang diampu oleh buah-buah permata dari Al-Azhar. Para pelajar sekarang jadi merasa melek walang. Seakan-akan mereka dibutakan oleh munculnya permata yang berkilau dimana-mana. Tidak semua. Sebagian dari mereka. Semoga minoritas dan tidak mayoritas.
Tapi harus hati-hati! Jangan sampai terkecoh oleh fatamorgana talaqqi, yang nampak indah di luar, ternyata kurang memungkinkan. Semakin terangnya pengajian bersih itu ada, tak mau kalah terang pula pengajian gelap itu ada; yang seolah menjadi sosok jubah suci, padahal, ya begitulah. Na’udzubillah.
Akhir-akhir ini lagi heboh membahas permasalahan talaqqi yang dikira pelajar (terkhusus dari Indonesia) itu baik, sudah berlalu sih. Memiliki nilai yang berkualitas, memiliki sanad yang tinggi sampai menembus langit. Eh, ternyata. Itu semua hanya penipuan, itu semuanya penyesatan.
Contohnya, seperti ta’ala ma’ayya (…), lalu beberapa tarekat sufi yang katanya, mursyidnya sesat. Saya pribadi tidak menghukumi semua itu sesat. Karena ulama’ kita mengajarkan bagaimana menghormati guru, meskipun salah. Mungkin ada beberapa yang menilai negatif.
Untuk apa kita mempermasalahkan dan menyalahkan mereka yang mengadakan pengajian yang berpaling dari kebaikan itu. Buang-buang waktu, iya. Bikin dosa, iya. Merekanya, jadi berkurang dosanya. Wajar, dimana ada kebaikan pasti juga ada keburukan. Dan itu bukan baru-baru ini. Namun sudah terbentuk sejak lama; entah itu pengajian talaqqi, tahfidz, tarekat, dan lain-lain. Cuma bagaimana kita mampu menghadapinya.
Ketika itu saya pernah meminta nasehat kepada Maulana Syeikh Yusri, lalu beliau berkata, “Kita tidak ada gunanya mengklaim mereka sesat, tidak benar, atau apa. Tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah untuk mencari kebaikan dan menghindari keburukan. Urusan mereka tidak baik, itu bukan kedudukanmu sebagai pelajar untuk membicarakan dan mencari aib seorang guru. Bisa jadi mereka juga ada niat baik, bisa jadi mereka lebih pintar dan lebih tahu daripada kamu. Yang Maha Tahu hanyalah Tuhan. Seorang pelajar yang baik adalah menghormati gurunya, apabila ada yang tidak baik atau kurang tepat, maka cukup hindari keburukannya dan do’akan dalam kebaikan. Tidak perlu sampai menghukumi sesat, jahat dan lain sebagainya.”
Lantaran, siapa yang harus disalahkan? Dimana kita harus mencari talaqqi yang tepat?
PERTAMA, kalau soal mencari siapa yang harus disalahkan, sebenarnya adanya pengajian yang seperti itu juga tidak salah, kenapa? Karena memang sudah tujuan mereka dan tidak bisa diganggu gugat, dan itu terbentuk sedari dulu. Yang patut disalahkan kali ini adalah diri kita masing-masing. Bukan tempat-tempat talaqqinya. Lazim bagi seorang penuntut ilmu mampu menyaring dan mencari akan kebaikan, bukan malah mudah terpancing. Memang, semangat muda itu luar biasa.
Dulu, sewaktu awal-awalnya saya tiba di Mesir, (curhat dikit), semua talaqqi yang ada saya ikuti, saya mencoba meraba, sampai saya benar-benar mampu menyaring mana yang tepat dan mana yang harus ditinggalkan terlebih dahulu. Meskipun sekarang masih terkecoh. Ibarat kata saya hanya membuang-buang waktu. Namun dari situ saya mendapat pengalaman.
Karena percuma banyak ikut talaqqi, akan tetapi tidak diseimbangi dengan mudzakarah dan menelisik ulang akan ilmu yang dipelajari. Akhirnya, hanya akan hilang ditelan oleh masa. Lupa, pasti. Apalagi yang hanya tujuannya; dimana ada ijazahan dia semangat ikut. Yang dicari hanya sanad, ijazah, sanad, dan ijazah. Biar apa? Iya dong, biar keren punya ijazah dan sanad banyak. Tapi, ilmu dan isinya ada nggak? Apa yang didapat hanya sekedar lembaran saja? Na’udzubillah. Sampai mereka harus mudah dibohongi oleh sanad dan ijazah yang katanya, memiliki nilai tinggi. Ternyata, salah berguru. Karena salah, jadi tak berarah.
Dulu, Grand Syekh Ahmad At-Thayyib selama sepuluh tahun di Al-Azhar belum pernah mendapat sanad dan ijazah, bahkan belum ada harapan untuk mengemis itu semua. Karena kenapa? Karena beliau benar-benar tahu akan apa yang dicari, yaitu ilmu. Satu-satunya jalan untuk menuju Tuhan. Bas.
Tentang menuntut ilmu, Maulana Al-Habib Ali Al-Jufri menyampaikan, “sejatinya seorang penuntut ilmu bukan untuk mencari gelar, sanad, atau ijazah. Akan tetapi benar-benar niat ikhlas dan tulus akan mendalami ilmu itu untuk Allah semata. Mungkin itu baik jika niatmu akan sebuah sanad yang menyambung kepada Baginda Nabi karena ingin lebih dekat, mengenal, dan lebih cinta kepadanya. Pun mampu mengajak sekitarmu dalam kebaikan. Akan tetapi begitu hinanya engkau di saat mendambakan dan mengejar-ngejar sanad atau ijazah yang tinggi; sebatas untuk meninggikan dirimu, mengunggulkan kedudukanmu, memamerkan kehebatanmu dari yang lain bahwa, ‘ini, lho, saya, punya sanad banyak, punya sanad tinggi’. Semua itu hanya permainan nafsu duniawi.”
Tugas seorang penuntut ilmu adalah mencari kebaikan dan menghindari keburukan. Ia harus mengerti dan paham akan apa yang ia cari dan kepada siapa ia mencari ilmu tersebut. Kalau asal ceroboh, ujungnya hanya penyesalan. Lalu bagaimana kalau tidak tahu? Ya tanya kepada yang lebih tahu, diamati, diperhatikan kepada siapa ia mencari. Oh, ulama’ Al-Azhar. Bagaimana biografi beliau? Alhamdulillah baik. Ikuti. Bagaimana manhaj beliau? Oh, ternyata ada yang kurang tepat. Hindari. Banyak ulama Al-Azhar, tapi tidak menuntut kemungkinan semuanya sejalan dengan Al-Azhar.
KEDUA, untuk mencari tempat talaqqi yang tepat. Grand Syeikh Al-Azhar sekarang sudah memusatkan talaqqi itu di Al-Azhar bas. Mungkin ada beberapa tambahan yang dimana talaqqi itu sudah pasti diampu oleh ulama’ Al-Azhar. Contohnya, di madhiyafah-madhiyafah, masjid Sidi Sholeh Ja’fary, Dar Imam Ghozali, insya’Allah itu semua terpercaya.
Intinya, ketika seorang penuntut ilmu hanya bermodalkan instan, tinggal jadi, memandang sebelah mata. Tak ada usaha dan jihad ingin mencari tahu secara dalam hingga ke akarnya. Akhirnya ia salah berguru, lalu bertolak dari kebenaran, kemudian menyebar kesesatan dan ketidakbenaran. Akhirnya, jadi dosa dan jariyatu-s-suu’. Na’udzubillah.
Namun jika sudah tertanamnya jiwa ingin tahu dan rasa ingin menggali kebaikan pada jati diri seorang pelajar, sesungguhnya itulah sejatinya penuntut ilmu, bukti cintanya terhadap ilmu. Takut apabila ilmu yang ia dapat itu kotor atau ternodai. Maka perlu adanya guru murobbi yang tepat dan terpercaya.
Pentingnya lagi, sebagai seorang penuntut ilmu, kita juga harus tahu mana porsi kita. Mana yang seharusnya kita butuhkan terlebih dahulu. Kata Maulana Syeikh Husam, untuk mampu mudah memahami dan menguasai berbagai fan ilmu, syaratnya adalah dengan benar-benar memahami dan menguasai Nahwu dan Mantiq. Fokus terhadap dua materi tersebut. Terutama bagi pemula, dengan dua itu, kata beliau, yang akan mengawal penuntut ilmu ke depan menuju pemahaman yang luas. Ketika sudah benar paham terhadap kedua ilmu tersebut, maka mampu untuk melompat ke jenjang berikutnya.
Dengan begitu banyaknya materi talaqqi, terkadang penuntut ilmu begitu antusias mengikuti sana-sini, sampai ia tidak mampu membedakan mana yang sekiranya penting diikuti, mana yang sekiranya tidak. Sebagaimana ada materi yang dimana materi tersebut dapat untuk dibaca secara pribadi, sebagai materi bacaan (muthola’ah). Yang sedemikian juga bukanlah kelaziman seorang penuntut ilmu untuk mengikutinya, boleh iya, boleh tidak. Jangan sampai menyia-nyiakan waktu yang sekiranya di waktu itu kita mampu mudzakaroh atau mengkaji berbagai ilmu yang lazim, malah sebaliknya dengan mengurasnya berjam-jam. Kecuali, memang memiliki keinginan untuk bermulazamah dengan guru yang mengajar materi tersebut. Akan tetapi, dalam talaqqi bukanlah sekedar untuk mencari barokah. Namun akal pun juga harus diasah. Ushii nafsii wa iyyakum.
Allahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Alfaqir – Jubah Putih, 02 September 2019.
Sumber