Percakapan Menarik Bersama Orang Sudan dan Bersuci dengan Air Mani Dua Kulah
Oleh: Akhmad Yani
Berbicara mengenai salah satu keuntungan sekolah di luar negeri, baik itu Mesir, Sudan, Maroko, Lebanon, Mekkah, Madinah dan lain-lainnya, salah satunya adalah kita bisa berinteraksi dengan orang-orang luar negeri dari berbagai daerah, bahkan mungkin dari seluruh dunia.
Berinteraksi dengan orang luar negeri menurut saya itu masih dianggap biasa, tapi bagaimana jika berinteraksi dengan orang luar negeri yang cerdas? itu baru menarik. Teman saya Mochammad Eka Faturrahman bercerita tentang pengalaman dengan temannya dari Sudan. Ceritanya seperti ini:
Semalam saya diundang salah seorang teman yang berasal dari Sudan, kakak kelas saya, beliau sekarang sedang menempuh tingkat dua di Fakultas Bahasa arab dan Adab.
Sedikit banyak pembicaraan yang kami bicarakan, ada satu yang cukup menarik perhatian saya, disamping banyaknya sajian yang beliau siapkan seperti permen, teh, kopi dan jus mangga.
Beliau berkata bahwa dia adalah salah seorang pengikut madzhab maliki. Namun dalam beberapa situasi beliau memilih untuk mengikuti madzhab lain.
Contoh saat shalat, di Masjid Bu’uts (Masjid yang ada di dalam komplek asrama mahasiswa beasiswa al-Azhar) imam seringkali mengucap salam dengan nakirah yaitu “salamualaikum warahmatullah” bukan dengan marifah “Assalamualaikum warahmatullah”
Pada madzhab Imam Maliki, hal itu (salam dengan nakirah, menghilangkan keabsahan suatu shalat atau menjadikan shalat itu batal.
Beliau akhirnya mengambil madzhab yang memperbolehkan hal itu sehingga shalatnya sah.
Pun ketika shalat jum’at, dalam madzhab beliau, masjid yang sah untuk shalat jum’at adalah masjid yang diperbolehkan untuk umum. Sedangkan masjid buuts diperuntukkan untuk penghuninya saja, maka shalat jumat di masjid buuts tidak sah untuk pengikut madzhab Maliki dan beliau mengikuti madzhab lain yang membolehkan sehingga sah shalat jum’at beliau.
Saya pun bercerita bahwa pengikut madzhab Syafi’i pada saat berhaji, akan menemukan kesulitan untuk menjaga kesucian, karena bersentuhan tangan dengan wanita saja dapat membatalkan wudhu, meskipun tanpa syahwat. Biasanya pengikut madzhab Syafi’i mengikuti pendapat lain yang ringan hukumnya mengenai hal-hal yang terkait dengan bersentuhan lawan jenis.
Pada akhirnya beliau mengatakan, itulah yang dimaksud guru-guru kita terdahulu bahwa ‘Perbedaan adalah rahmat’ Sekira para imam empat ini sama dalam semua hukum, maka tentu manusia akan kesulitan dalam menjalani suatu syari’at.
Adanya perbedaan ini menjadikan manusia dapat memilih apa yang mudah baginya, karena Allah memang ingin kemudahan bagi hamba-Nya, selama masih dalam koridor serta rambu-rambunya.
Seperti itu ceritanya.
Mereka yang fanatik terhadap satu madzhab dan tak mau mengambil pendapat lain, sebagian ulama menganggap mereka adalah orang yang pendek dan kurang pemikiran serta ilmunya. Kenapa seperti itu? Karena hal itu akan jadi boomerang bagi dirinya sendiri. Saya tidak tertarik untuk memperdebatkan hal ini, karena hal ini sudah diperdebatkan para ulama terdahulu, jadi cukup kita baca tulisan-tulisan yang sudah membahasnya. Mata pelajaran yang membahas perbandingan madzhab disebut Fikih Perbandinga (Muqarin), dan bagian pembahasan spesifiknya ialah masalah talfiq.
Saya pernah membaca dalam kitab Ihya Ulumiddin karangan Imam Ghazali, di bagian awal-awal pada bab toharah (bersuci) Imam Ghazali lebih condong ke pendapat imam yang membolehkan bersuci dengan air musta’mal selama salah satu sifat air itu tidak berubah, yaitu: bau, warna atau rasa, maka air itu tetap bisa digunakan.
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bersuci dengan air menjadi dua bagian:
Pertama
Air suci yang sedikit (tidak sampai dua kulah: 216 Liter) yang bercampur dengan najis
1. Madzhab pertama: tetap suci selama tidak berubah salah satu sifatnya. (Riwayat Imam Malik, Imam Ahmad dan sebagian ulama Syafi’i).
2. Madzhab kedua: tidak suci lagi. (Madzhab Imam Hanafi, riwayat kedua Imam Malik, Madzhab Imam Syafi’i dan yang masyhur diriwayat Imam Hambali).
Kedua
Air suci yang bercampur benda suci
1. Madzhab pertama: tetap suci walau salah satu sifatnya berubah, contohnya air sabun (Madzhab Imam Hanafi dan riwayat Imam Hambali).
2. Madzhab Kedua (pendapat kuat): air tetap suci tapi tidak bisa mensucikan jika salah satu sifatnya berubah (Madzhab Imam Malik dan Syafi’i dan Riwayat kedua Imam Hambali).
Ada pertanyaan lucu yang baru-baru ini viral di dunia maya, entah itu cuma candaan atau serius, pertanyaannya seperti ini “apa hukum mani jika dikumpulkan sebanyak dua kulah? apakah bisa dipakai bersuci?” Mungkin si penanya lupa tentang pembahasan bagian-bagian air dalam ilmu fikih, Air ada yang suci lagi mensucikan (contoh air hujan), ada pula air suci tapi tidak bisa mensucikan (contoh air kelapa). Lalu jawabannya air mani itu termasuk air yang tidak bisa mensucikan lainnya walau dia suci, sama halnya dengan air coca cola.
Jadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa ketika orang-orang berilmu ketika berdiskusi, mereka saling menerima dan mendengarkan, karena tahu hal-hal yang memang bisa diterima selama tidak berlebihan. Tapi ketika orang kurang cerdas berdiskusi, mereka lebih mudah tersulut emosi, ya kadang orang pintar juga tersulut emosi, karena dia kurang cerdas.
Banyak hal yang dijadikan perdebatan, ada perdebatan tahunan, seperti: maulid Nabi Saw. pada bulan rabiul awwal, mengucapkan selamat natal ketika dekat hari natal orang kristen. Ada perdebatan antar ormas, dan lain-lain.
Sebenarnya cukup simpel, kita hanya perlu mengerjakan bagi mereka yang ikut memperbolehkan, dan meninggalkan bagi mereka yang tidak setuju. Saya rasa itu lebih baik daripada kita harus menyakiti hati orang lain, lalu tinggal banyak membaca atau mendengarkan dalil dan pembahasan tentang hal itu.
Pernah dengar pepatah ulama ini?
“من قل علمه كثر اعترلضه”
Artinya: Orang yang sedikit ilmunya, maka dia akan banyak menyalahkan.
One thought on “Percakapan Menarik Bersama Orang Sudan dan Bersuci dengan Air Mani Dua Kulah”