Khutbah 1 Muharram
Amma ba’du. Bagi sebagian dari kita–umat Islam–, pergantian tahun baru hijriyah merupakan salah satu momen yang sakral nan fundamental. Pada momen ini, kita bermuhasabah diri akan segala perbuatan yang telah kita lakukan pada masa sebelumnya sekaligus berkomitmen agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Maka, bukanlah pemandangan yang langka apabila pada momen ini bertebaran doa-doa akhir tahun dan awal tahun yang diunggah oleh beragam akun di cakrawala media sosial. Senada dengan hal tersebut, bukan hal majhul pula kenapa momentum hijrah dijadikan sebagai titik tolak tahun penanggalan dalam Islam.
Hanya saja, apakah pernah terbesit dalam benak kita bahwa Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat hijrah dari Mekah pada akhir Safar dan tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal, lantas mengapa bulan Muharram yang ditetapkan sebagai bulan pertama dalam kalender hijriyah?
Mengutip tanya-jawab yang diunggah oleh Dar al-Ifta al-Mishriyyah pada 09 Agustus 2023 di halaman websitenya, Syaikh Syauqi Ibrahim ‘Allam selaku Mufti Mesir menyampaikan beberapa pendapat yang menerangkan alasan ditetapkannya Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender hijriyah.
Berikut pendapat-pendapat yang beliau lampirkan:
1. Muharram adalah syahrullah. Pada bulan ini, ka’bah dipakaikan kain kiswah, mata uang dicetak, dan ada satu hari di dalamnya ketika suatu kaum bertaubat lalu diterima taubatnya. (al-Hafizh as-Sakhawi, Fath al-Mughits).
2. Dipilihnya Muharram menjadikan bulan-bulan haram dapat terkumpul dalam satu tahun yang sama. (Abu Hilal al-‘Askari, al-Awa’il).
3. Sekalipun Rasulullah tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal, tapi Muharram adalah bulan kembalinya para jamaah haji ke negeri-negeri mereka dan merupakan bulan haram. (Imam as-Suyuthi, at-Tausyih).
4. Para ulama mengemukakan alasan ditetapkannya Muharram sebagai bulan pertama, meski Rasulullah tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal, ialah karena Muharram merupakan bulan haram dan waktu ketika para jamaah haji pulang dari ibadah haji mereka. Dalam pendapat lain, disebutkan bahwa bulan-bulan haram dapat terkumpul dalam satu tahun yang sama dengan dipilihnya Muharram. (al-Hafizh al-Mughalthay, al-Isyarah ila Sirah al-Mushtafa wa Tarikh Man Ba’dahu min al-Khulafa).
5. Sebagian sahabat menyebutkan beberapa momen yang cocok untuk dijadikan titik tolak tahun penanggalan hijriyah. Mereka berkata: “Beberapa momentum yang dapat disepakati sebagai titik tolak tahun penanggalan hijriyah ada 4: kelahiran Nabi, diutusnya Nabi, hijrahnya Nabi, dan wafatnya Nabi.”
Akan tetapi, mereka memilih momentum hijrah karena penentuan tahun kelahiran dan diutusnya Nabi tidak terlepas dari ikhtilaf yang ada. Sementara itu, waktu wafatnya Nabi tidak dipilih karena dapat mengingatkan mereka pada duka cita. Oleh karenanya, satu-satunya momen yang tersisa adalah momentum hijrah.
Kemudian, mereka memajukan bulan pertama dari Rabiul Awal ke Muharram karena Nabi telah berazam untuk hijrah sejak bulan Muharram, yang mana Baiat Aqabah yang merupakan mukadimah hijrah terjadi pada pertengahan bulan Dzulhijjah. Sehingga, hilal pertama yang tampak di langit setelah momen baiat dan berazamnya Nabi untuk hijrah adalah hilal Muharram.
Dari sana, cocoklah bila Muharram ditetapkan sebagai bulan pertama, dan ini adalah pendapat paling kuat yang aku telaah. (al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari).
Ala kulli hal, 1 Muharram tahun ini bertepatan dengan tanggal 7 Juli 2024, tepat 9 bulan setelah amaliyah Tufan al-Aqsha dimulai. Maka, pada waktu senja 1 Muharram kemarin, kita kembali menyaksikan Abu Ubaidah tampil berkhutbah setelah terakhir kali muncul sekitar sebulan yang lalu pada 26 Mei 2024.
Melalui khutbah yang berdurasi 17 menit 53 detik kemarin, Abu Ubaidah mengakidkan beberapa poin yang dua diantaranya adalah berikut ini:
1. Pertempuran yang terjadi di Rafah sejak dua bulan lalu dan segala perjuangan yang dipersembahkan oleh para mujahidin di seluruh kawasan Gaza menjadi dalil terbesar kuatnya perlawanan kami sekaligus tanda gagalnya musuh dengan berbagai upayanya.
2. Kemampuan dan keteguhan para mujahidin untuk menghadapi musuh semakin membesar dari hari ke hari, dan semua kejahatan yang dilakukan musuh cukup untuk menghancur-leburkan taktik mereka sendiri. Sementara itu, kami sendiri berhasil merekrut ribuan mujahidin baru selama perang berlangsung serta merekrut ribuan mujahidin baru yang lain yang siap turun ke medan tempur kapan saja waktunya.
Dua poin di atas satu instrumen dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh melalui akun facebooknya pada 23 April 2024 bahwa Israel tidak berhasil merealisasikan tujuan yang mereka umumkan selain menghancurkan Gaza secara keseluruhan, membuat lebih dari seribu orang menjadi syahid, terluka, dan hilang, serta membuat lapar penduduknya yang tersisa.
Dari dua poin di atas juga, apalagi jika mendengar khutbahnya langsung, kita dapat merasakan getaran optimisme Abu Ubaidah, para mujahidin, dan masyarakat Gaza dalam menyongsong kemerdekaan bumi Palestina.
Adapun di bumi Palestina yang lain, di tepi barat, khususnya di Jenin dan Thulkarm, konflik senjata antara tentara zionis dan para mujahidin juga tak dapat terelakkan dan berlangsung sengit seiring mengudaranya arwah-arwah syuhada yang mengharumi langit demi mempertahankan kesucian Masjid al-Aqsha.
Kita tidak tahu kapan perang ini akan berakhir, tetapi sudah menjadi keyakinan dalam jiwa raga kita bahwa Masjid al-Aqsha pasti dapat dibebaskan.
Amaliyah Tufan al-Aqsha bukanlah sebuah kesalahan sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang lantaran setiap perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, dan pengorbanan dalam amaliyah ini adalah hidup mulia atau mati syahid.
Amaliyah Tufan al-Aqsha sukses menyibak tirai kebobrokan dan kemunafikan kepada kaum merdeka di seluruh penjuru bumi. Semua bersatu dalam suara kemerdekaan bumi Palestina. Bahkan, hal-hal simbolik seperti buah semangka, kufiah bercorak hitam-putih, dan segitiga merah terbalik saja menjadi simbol yang dilarang di negara barat.
Khutbah Abu Ubaidah pada 1 Muharram kemarin adalah khutbah yang baru, di hari yang baru, pada tahun yang baru, yang membersamai amal puasa kaum Muslimin di sudut planet biru yang lain yang belum jua menggapai dzurwah sanam al-Islam.
Terakhir, mari kita tutup tulisan ini dengan kalimat yang selalu diucapkan oleh Abu Ubaidah pada akhir setiap khutbahnya:
وإنه لجها.د: نصر أو استشهاد
Imdhi ‘ala barakatillah…
Penulis: Faiz Abdul Hakim
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Cairo